Usai penangkapan Munarman beberapa hari lalu, rekan Kners, yang berprofesi sebagai guru meminta menuliskan, bagaimana dampak keberadaan Munarman dan generasi muda. Ia merasakan bahwa rekan mengajarnya demikian mengagumi Munarman.
Pun banyak anak muda yang terlihat sangat memuja Munarman. Sebenarnya Munarman ini perlu sosok  Rizieq Shihab untuk bisa menjadi "besar." Suka atau tidak, mereka, tanpa salah satunya tidak bisa berbuat banyak.
Fakta yang paling jelas, ketika Rizieq kabur ke Arab sekian lama, Munarman tidak banyak beraksi yang cukup signifikan. Hanya mampu membuat isu dan embusan akan pulang dan datang dalam acara tertentu. Apalagi masa pilpres kemarin.
Kedatangan Rizieq yang bak durian runtuh itu ternyata hanya sebuah oase, karena tidak lama kemudian malah kelu datang ke mapolda Metro Jaya untuk menyerah dan kalah. Upaya-upaya selanjutnya dilakukan tetap saja gagal. Hanya menang sejenak dengan pemaksaan sidang offline. Itu lagi-lagi hanya oase, karena putusan sela juga mengatakan lanjut.
Drama makian, pedang si sopir untuk kupas mangga, itu hanya trik riak kecil Munarman untuk bisa eksis berkolaborasi. Semua tidak mampu membuat keadaan membaik, malah berbali arah kini ia ditangkap sebagai tersangka terorisme. Ini bukan main-main. Terorisme, beda dengan Rizieq yang ecek-ecek, mesum, pelanggaran prokes, penghinaan itu dan ini.
Mengapa Munarman begitu kuat sangkaannya? Ya karena memang keberadaan Munarman sebagai orang besar di balik Rizieq Shihab. Ia adalah sutradara dan Rizieq aktor lapangannya. Lebih mudah menangkap Rizieq dari pada Munarman.
Pembelaan pun lebih banyak untuk Munarman dari pada Rizieq Shihab. Fadli Zon, Demokrat, dan kalangan oposan dari yang oposan. Padahal pas Rizieq tidak seheboh sekarang. Benar, beberapa sih bukan demi Munarman, kepentingan sendiri.
Keberadaan Munarman yang bak hero, begitu gagah melawan dan menjadi rival pemerintah, sangat mungkin disalah mengerti oleh kaum muda. Mengapa saya katakan salah mengerti? Begini, seorang pemimpin, hero, pahlawan, pejuang itu memiliki beberapa hal,
Pertama, ia berjuang demi kebaikan. Nah ketika memperjuangan kebaikan itu tidak akan meniadakan pihak lain. Ini bukan dalam konteks rival, seperti pejuang Indonesia melawan penjajah. Lihat saja perjuangan mereka, mana ada idealisme yang jelas.
Kedua, berkaitan dengan idealisme di atas. Mereka tidak konsisten antara perbuatan dan apa yang mereka serukan. Ketika bicara agama, namun isinya caci maki, sikap munafik, dan tidak konsisten, di mana ajaran agamanya.
Ketiga, yang dijadikan rival adalah pemerintah yang sah, dan mereka ini bukan partai politik. Jika memang mereka ksatria ya daftarkan jadi partai politik. Mengaku memiliki anggota banyak, mengapa tidak berani menjadi partai politik dan ikut pemilu.
Keempat, sikap ini bertentangan dengan alam demokrasi. Ingat, demokrasi itu memiliki aturan yang jelas. Ketika menang pemilu, mau diakui atau tidak, ketika konstitusi menyatakan sah, ya semua harus tunduk. Mereka ini tidak mau, malah menuding pemerintah yang salah. Kembali ini soal konsensus, dan kesetiaan azas. Mereka tidak memiliki.
Kelima, keberadaan FPI dan Munarman ini memang menjawab apa yang dimaui massa mereka. Tidak soal benar atau tidak, namun bagi mereka massa mereka ikut dan percaya. Termasuk diperintahkan untuk mati sekalipun.
Jika kaum muda, terdidik, dan memiliki pengetahuan saja bisa terkecoh, bagaimana yang tidak terdidik dan mau membaca serta berpikir kritis. Apa yang perlu dibuat?
Narasi kebaikan dan kebenaran yang universal. Mengapa demikian? Semua bisa menglaim diri benar. Namun bagaimana benar itu berhadapan dengan benar yang universal. Munafik jelas tidak ada kebenaran sama sekali.
Ini yang harus dijelaskan bagi kaum muda. Perlawanan yang tidak pada tempatnya jelas perlu menjadi bahan untuk memberikan pemahaman kepada mereka, sehingga utuh yang mereka kenali.
Pendidikan dan literasi. Ini sangat penting. Pendidikan bangsa ini masih cenderung hapalan, apa yang di depan mata. Sedikit saja ada kamuflase sudah buyar. Mereka, FPI dan Munarman itu tahu betul.
Kaum muda diajak kritis melihat, Benar tidak ini perjuangan, agama, atau politik-ideologis, atau bahkan uang. Ini sangat mudah diketahui.
Rekam jejak menjadi modal utama untuk menjadi bahan pertimbangan. Perjuangan baik tidak akan menggunakan jalan buruk. Â Ini modal awal untuk menilai dan melihat itu baik atau tidak.
Kebersamaan, kerukunan, dan kedamaian menjadi yang utama. Emosional, kekerasan, dan caci maki, apa iya itu jalan perjuangan dan kebenaran?
Menjadi lucu, ketika di sekolah guru menyentil siswa saja geger, eh ada ormas dengan membawa-bawa pedang ke mana-mana dianggap pejuang. Sampeyan waras?
Konsistensi dan satunya kata dan perbuatan. Ini lagi-lagi bisa menjadi sebuah indikasi adanya perjuangan yang lebih tepat. Apakah itu menjadi bagian keseharian si pejuang, atau hanya kadang kala saja?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H