TMII dari Bayar Hutang dan Mau Dikelola Keluarga Jokowi
Hal yang lumayan logis sih, namun era dan zaman berbeda. Dulu, siapa berani melawan kehendak Presiden RI, terutama Soeharto. Kini keadaan berbeda, reformasi yang kadang kebablasan, lha presiden saja dimaki-maki, mosok mau mengelola TMII seolah gantian dengan keluarga Soeharto.
Rekam jejak pun kog tidak mengarah ke sana. Tidak perlu mengulik usaha keluarga atau pribadi Jokowi, namun bagaimana ia memilih di dalam bernegara. Apakah menguntungkan diri, kelompok, atau bangsa.
Beberapa indikator layak disebutkan;
Pilihan tidak populer cukup banyak dijadikan kebijakan. Itu kadang membuat pemilih dan pendukung setianya pun meradang. Pada 2014, usai dilantik, langsung menaikkan harga BBM. Jelas saja dengungan kekecewaan langsung menguar. Percuma memilih, kecewa mencoblos, eh malah menaikkan BBM.
Tarif dasar listrik juga demikian. Ini adalah pilihan yang sangat mendasar. Kebutuhan seluruh anak bangsa. Dampaknya adalah pada pilihan periode kedua sudah payah untuk meyakinkan publik. Pilihan yang sangat tidak populer banyak ditempuh.
Belum lagi, ketika bicara kepentingan global. Bagaimana kondisi politik gonjang-ganjing, ini semua juga berkaitan dengan dinamika internasional. Amrik biasa leluasa mengeruk Papua, eh diminta balik. Freeport itu gunung emas, biasa bangsa ini dapat remah-remah. Belum lagi elit bangsa yang ikut berpesta.
Pengelolaan minyak yang bertahun-tahun melalui Petral. Ia tendang jauh-jauh. Hayo, banyakan uang TMII atau Petral? Hal yang sangat sederhana sebenarnya.
Fadli Zon lebih lucu lagi, ia mengatakan pengambilalihan TMII untuk membayar hutang. Ada beberapa hal yang layak dicermati.
Hutang itu bukan keputusan pribadi Jokowi, atau presiden, namun bersama-sama dengan DPR, dan salah satu pimpinan dewan periode lalu adalah Fadli Zon. Ada paripurna untuk menentukan besaran hutang. Jadi, ini sih menghina diri sendiri sebenarnya.
Kedua, hutang negara ini sangat jelas, transparan, dan sangat mudah ditemukan di mana-mana. Sumbernya juga pasti, uang ke mana juga jelas. Pembangunan semasif ini sebenarnya juga Fadli Zon paham, ini prestasi, tetapi demi pokok berbeda, ya sudahlah.
Ketiga, hutang itu juga termasuk warisan dari masa lalu. Itu jangan diabaikan dan dibebankan pada satu pemerintahan saja. Naif jika demikian, seolah-olah hanya Jokowi si tukang hutang.
Tanggapan pihak luar, anggota dewan malah cenderung pemerintah yang salah dan membela keberadaan TMII menjadi tanggung jawab dan pengelolaan secara pribadi keluarga Cendana. Malah berbeda dengan pengurusnya yang mengatakan, bahwa hal yang baik, jika negara mengambil alih, dan bersyukur pernah ikut mengelola selama ini.
Mengapa ada lagi-lagi tudingan kepada Jokowi, pribadi, bukan sebagai presiden?
Ini hanya satu bagian kecil dari fenomena gunung es perilaku bancaan aka korupsi pada masa lalu. Nah, ketika klan Soeharto saja berani diusik, apalagi yang lainnya. Pantas kan mereka ketar-ketir. Mengapa?
Reputasi dan solidnya jaringan Soeharto pasti sudah dipahami para elit yang biasa bermain-main model ini. Ketika yang solid, masa lalu, dan banyak "perlindungan" saja bobol. Apalagi yang baru-baru dan belum banyak pendukung untuk mengamankan. Mereka sudah berhitung ini tidak mudah, bahkan sudah ada di ujung tanduk.
KPK dulu satu-satunya momok yang menakutkan untuk para pengutil anggaran negara. Kini Kejaksaan dan Bareskrim pun mulai menggeliat dan menggigit lebih garang dari KPK. Mengeroyok koruptor dengan sangat kompak.
Satgas Hak Tagih Utang BLBI juga upaya yang baru. Bagaimana denda atau utang yang seolah dibiarkan begitu saja kini dikejar. Â Tentu saja banyak pihak-pihak yang biasa berlaku demikian, kini merasa was-was.
Narasi yang menyasar pribadi Jokowi, tentu saja baginya sangat biasa. Tidak takut bahwa ia akan tercemar, tidak populer, atau hal lainnya. Ia sudah tidak lagi khawatir dengan model itu. Tudingan, bahkan fitnah sudah sangat biasa ia terima.
Tudingan mau mengelola TMII jauh dari rekam jejak Jokowi selama ini. Hal yang terlalu kecil manfaatnya baginya, tetapi resiko politiknya sangat besar. Bisa terjungkal hanya karena hal sepele. Minta saham FPI saja bisa jauh lebih besar, dari pada TMII. Apalagi lawan yang dihadapi adalah Cendana.
Jauh lebih masuk akal meminta penguasaan tambang misalnya. Atau mengganti Petral dengan nama lain dikelola oleh klannya sendiri. Jelas lebih gede, dari pada sekadar menjadi wali kota, atau mengambil alih TMII.
Membayar hutang. Ini sih naif. Laporan-laporan baik media, atau rilis personal, banyak yang mengaitkan rasio utang jauh menurun. Nah, apa dampak signifikannya pengambilalihan TMII untuk bayar utang. Toh selama ini juga membayar utang dengan lancar. Nilai keberadaan TMII sebagai pembayar utang, kog saya rasa tidak besar-besar amat.
Apa yang dinarasikan sih, cenderung untuk menutupi aib, keberadaan model mengumpulkan kekayaan untuk pribadi yang senada, dan mengamankan aset dari upaya ambil paksa negara. Coba saja, jika para maling itu memutihkan kekayaan yang mereka colong, 40% saja, negara ini kaya raya.
Lagi-lagi salawi, karena mengacaukan kemapanan selama ini. Pelan namun pasti, bahwa negeri ini akan dikelola lebih baik lagi.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI