Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Mendiang Pangeran Philips

10 April 2021   08:19 Diperbarui: 10 April 2021   08:36 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: okezone.com

Belajar dari Mendiang  Pangeran Philips

RIP Pangeran

Duka mendalam bagi Ratu Elizabeth tentu, 74 tahun hidup bersama. Dalam usai menjelang seabad sang suami, mangkat. Suami dari ratu terbesar di jagad, paling panjang pula. Namun, sosok yang biasa di depan, memimpin, dan menjadi kepala, karena status dari sang istri, berjalanpun ia ada di sedikit belakang.

Hal yang tidak mudah, tentu saja bagi sikap laki-laki, yang biasa sangat kental kelaki-lakian, dan enggan kalah, apalagi oleh istri dan perempuan.  Ini soal psikologis, dan juga sosiologis budaya. Patriarkhi yang memang masih demikian kental, hingga hari ini.

Tetapi almarhum berbeda. Sangat mungkin Pangran Charles puteranya saja tidak mampu. Konon sedikit banyak, kisruhnya pernikahan dengan almarhum Puteri Diana juga karena "kalah" pamor. Tentu saja ini sebatas rumor, berbeda dengan si bapak yang mampu menjaga dan tahu diri dengan baik.  Ia menikah dengan siapa.

Publik era 90-an ke bawah tentu masih ingat, paling tidak jadi teringat kembali, ketika masa itu anak-anak mereka, satu demi satu menjadi pusat pemberitaan berkaitan dengan keluarga mereka. Ratu sebagai pemimpin tentu saja fokus pada tugas kenegaraan.  Peran domestik akhirnya tentu saja ada di tangan Pangeran Philips.

Sampai pemakamanpun ia menjadi pribadi "di belakang, balik layar", tanpa prosesi kerajaan, tentu karena pandemi. Berbeda jauh dengan "maraknya" pemakaman mantan menantu mereka. Begitu gegap gempita, bahkan di Indonesia pun ada siaran langsung televisi. Bisa dibayangkan betapa besarnya perhatian publik kala itu. Mantan  puteri padahal. Tentu saja alasan lain, bukan sekadar mantan puteri, namun ibu putera mahkota juga masih tersemat.

Laki-laki hebat ada di belakang ratu sejagad.

Sering terlontar bahwa di balik laki-laki hebat  ada perempuan kuat. Kini hal yang sama layak disematkan pada mendiang Pangeran Philips, ketika ia dengan setia, tabah lagi mendampingi Ratu Inggris. Ia ratu termasuk untuk negara-negara persemakmuran, hingga hari meninggalnya lho.

Jika pangeran sedikit saja berulang, hancur sudah reputasi Inggris dan Ratu Elisabet. Toh selama hampir tujuh dekade bisa mereka lampaui. Hebat.

Tahu diri dan tahu batas. Ini sebuah pembelajaran yang sangat tidak mudah. Mengalahkan diri karena menikah dengan ratu sejagad. Lha orang biasa saja ada yang gaya. Cek saja media sosial, bagaimana memberikan uang belanja lima puluh ribu rupiah untuk seminggu, namun  mengeluh ketika lauknya dirasa tidak enak.  Padahal almarhum, jalan saja harus di belakang.

Menjaga reputasi diri juga mengawal keberadaan Ratu Inggris dan kerajaannya.  Inggris masih tetap mendapatkan sikap respek dari dunia. Keberadaan mereka masih tetap terjaga, walaupun tetap pemerintah, Perdana Menteri yang memegang kendali, toh peran ratu tetap saja sentral. Jarang terdengar ada keluhan mengenai mereka.

Benar, media di sana memiliki batasan untuk tidak mengusik ratu dan keluarga, toh dengan kemajuan teknologi, dan semua orang bisa menjadi pewarta, hampir tidak ada gosip atau rumor mengenai keberadaan mereka. Semoga saja usai meninggalnya pangeran tidak ada berita penjualan info rahasia skandal begitu.

Bertahan di dalam kondisi feodalisme, protokoler kaku, ketat, dan mungkin sangat kuno, bisa bertahan sampai menjelang satu abad itu prestasi.  Bagaimana orang-orang sekarang saja sedikit-sedikit stres, depresi, dan mati muda.

Cenderung sehat. Ini pasti karena hidup nyaman, bukan dalam arti karena materi atau karena kedudukan. Ungkapan atas  keberadaannya. Ia tahu diri dan tidak memberontak dengan kondisi itu. jarang ada pemberitaan almarhum keluar masuk rumah sakit. Jelas pendidikan militer dan pangeran sangat mendukung.

Keteladanan dalam keluarga. Bisa bertahan puluhan tahun, padahal anak dan cucu ribet dalam hidup perkawinan mereka, toh tetap bertahan. Mungkin karena dididikan kuno, tidak mudah untuk mengatakan pisah, termasuk karena kedudukan suami Ratu Inggris, toh tidak sakit-sakitan.

Kemarin dalam sbuah candaan, rekan mengatakan sudah terbebas dari kekangan ratu, saya jawab, sampai 99 tahun itu berarti bahagia. Susah melihat orang tidak bahagia bisa berusia panjang. Sebuah keteladanan di dalam menyikapi keadaan rumah tangga dan hidup berkeluarga.

Beban berat, jika dilakukan dengan terpaksa, apalagi mengedepankan sikap egois, dan merasa diri sebagai laki-laki. Pilihan menikahi Puteri Mahkota Kerajaan Inggris tentu saja telah ia timbang masak-masak sejak awal.

Bisa dibayangkan, ketika ia tidak terima dan menerima diri dengan semestinya, tentu tidak akan bisa bertahan puluhan tahun. Ini layak menjadi permenungan dan menjadi bahan keteladanan bagi banyak pihak, baik laki-laki atau perempuan.

Hampir tidak terdengar juga, ia ikut campur dalam urusan bernegara, atau di dalam kerajaan. Hal yang sangat mungkin karena model Barat. Bagaimana jika itu terjadi di sini, susah membedakan dan tahu batas.

Selamat jalan Pangeran, bahagia di surga, pengabdianmu luar biasa.

Terima kasih dan salam

Susy  Haryawan

okezone.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun