Kemenkumham telah menolak pendaftaran  pengurus partai Demokrat kubu KLB. Pengurus di bawah Moeldoko mengatakan ini adalah babak baru, justru membuka kemungkinan untuk mengajukan tuntutan ke PTUN.
Di sana, PTUN menjadi penentu akhir, di mana pada nantinya, ketika PTUN menyatakan siapa saja yang menang, pihak Kemenkumham harus tunduk dan menyatakan yang sah adalah kubu yang dinyatakan menang oleh PTUN.
Langkah yang memang sangat demokratis, di mana pengadilan adalah tempat di mana semua kasus hukum, perseteruan, dan perselisihan mendapatkan muaranya. Siapapun yang berselesih dan memiliki perbedaan persepsi dan tafsir atas hukum, hakimlah yang menjadi pengadil.
Melihat mengapa KLB itu sangat mungkin gagal?
Moeldoko itu orang luar. Sama sekali tidak tahu dinamika yang terjadi di dalam partai Demokrat. Â Hanya ikut arus dari kader yang sedang kecewa, meradang, dan sakit hati. Bisa juga karena merasa kehilangan tempat.
Pandangan dan wawasan Moeldoko bisa diperkirakan akan tidak menyeluruh, bahkan cenderung bias, dan tidak sebagaimana aslinya yang sesungguhnya terjadi. Jadi wajar kalau seperti masuk dalam gedung gelap.
Siapa yang mengajak dan mengangkat Moeldoko? Jelas kader-kader yang merasa tidak mendapatkan tempat, tidak terakomodasi, atau merasa tidak semestinya mendapatkan apa yang diterima.
Emosional. Kecenderungan sangat  emosional, bukan rasional. Padahal, ketika emosi, orang cenderung tidak stabil, pikiran tidak lagi fokus, dan malah cenderung ngaco. Kalau tidak hati-hati bisa salah ambil keputusan dan kesimpulan.
Orang-orang dengan latar belakang demikian yang dominan menjadi pemikir, pemrakarsa, dan pegiat untuk mengadakan KLB. Ada kecenderungan untuk grusa-grusu sehingga banyak hal sepele namun prinsip terlewatkan. Ujungnya, ya gagal.
Mudah untuk mematahkan kegiatan dan kemudian menjadi organisasi yang diinsiasi oleh orang-orang yang emosional, baper, dan sedang meradang. Biarkan saja mereka banyak melakukan kesalahan sendiri. Ini sederhana sebenarnya.
Moeldoko berkali-kali mengatakan tidak memperhatikan apa yang terjadi, karena sibuk mengurus pernikahan anaknya. Menunjukkan ia tidak paham dengan baik apa yang terjadi. Informasi yang ia terima sangat mungkin tidak sepenuhnya benar. Cenderung hanya versi yang mengajak untuk mengadakan KLB.
Kek ABG yang mau naksir lawan jenis. Sangat mungkin polesan dan menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Kondisi yang sama sekali tidak ideal untuk mendapatkan hasil yang relatif baik.
Ketergesa-gesaan. Jelas ini memperlihatkan sikap emosional di atas. KLB sangat cepat di mana isu pertama bergulir tiba-tiba sudah terlaksana. Bagaimana membangun komunikasi dengan daerah dan mobilisasi organisasi bisa sesingkat itu?
Pergerakan mereka ini sederhana sebenarnya, jadi kubu AHY tidak perlu repot-repot safari politik, malah memperlemah kondisi sendiri. Energi terkuras yang tidak penting. Biarkan saja kubu rival melakukan blunder, Â karena memang kondisinya emosional.
Lihat saja dalam pertandingan apapun, apalagi bela diri. Jika lawan sudah tampak terpancing emosi, tunggu saja dalam waktu yang tidak lama akan tumbang. Mengapa? Karena tidak fokus, energi terkuras, danjadi  tidak konsentrasi pada apa yang harus dilakukan.
Penolakan pihak Kemenkumham sangat mendasar. Mengenai kepengurusan daerah tingkat I dan II. Mosok para pelaku KLB ini syarat administratif saja tidak paham dan tidaka tahu. Ini kan ngaco. Prosedur dasar saja tidak terpenuhi.
Mengenai persoalan angaran dasar dan anggaran rumah tangga memang bukan ranah Kemenkumham. Wajar jika ini ditolak oleh pihak kementrian.
Tinggal kumpulin saja energi lawan untuk menghentikan. Tidak perlu susah-susah untuk menyerang bak babi buta, yang malah menghancurkan kubu sendiri. Sia-sia namanya. Jauh lebih banyak perlu energi untuk pilpres, atau pemilihan legeslatif.
Menangkanlah peperangan, bukan hanya pertempuran. Memenangkan pertempuran itu hanya sebagian mungkin sangat kecil dari keseluruhan peperangan. Kalah untuk menang, bukan memaksakan kemenangan yang semu. Malah gol akhirnya lemah kan sayang apa yang sudah dirintis cukup panjang.
Konsolidasi itu penting. Mau rekonsiliasi atau tidak itu sangat menentukan arah ke depan. Jika memang mampu mengadakan islah dengan elit yang sempat berseteru, jelas memberikanpoin besar untuk kemajuan Demokrat. Ini asli dan hakikat dari demokrat, bukan sekadar nama.
Namun, berat dan berbahaya. Mengapa? Model pendekatan untuk kudeta akan terulang. Pengulangan kisruh yang akan terus terjadi. ketidaksukaan diselesaikan dengan mengadakan "kudeta."
Suka atau tidak, Demokrat itu makin kecil. Nah, potensi untuk menjadi lebih besar itu ya bersatu. Bagaimana memilah dan memilih personal yang benar-benar baik bagi partai memegang peran penting. Ini salah satu pertempuran untuk memenangkan peperangan.
Apa yang terjadi itu jelas terlihat, sebenarnya AHY hanya perlu untuk sabar. Menanti saja tidak perlu responsif yang malah menjadi bumerang dan amunisi pihak rival. jadikan kelemahan lawan menjadi keuntungan, bukan malah lawan yang mencari keuntungan.
Semua sudah terjadi. Sikap  kementrian jelas dan lugas. Simpan saja energi untuk tidak terbawa arus emosional dan responsif, apalagi panik.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H