KLB, Moeldoko Versus Gatot Nurmantyo
Gatot Nurmantyo mengaku menolak diajak menggulingkan AHY. Hal yang sebaliknya diamini oleh Moeldoko. Dalam pernyataannya Gatot Nurmantyo mengatakan, tidak mungkin menghianati SBY dengan mendongkel AHY. Ingat jasa SBY bagi karir dan hidupnya. Selengkapnya di kompas.tv.
Keduanya mantan Panglima TNI. Reputasi keduanya berbeda usai menjadi purnawirawan. Usai "hilang" selama SBY, Moeldoko kembali ke kancah politik, ketika pemerintahan Jokowi. Pun sebaliknya, Gatot Nurmantyo yang pensiun langsung mencari panggung dengan isu komunis, PKI, dan kemudian KAMI.
Sangat menarik menyimak kedua jenderal ini di dalam menapaki jalan politik mereka masing-masing. Eh ketemu dalam satu kondisi yang sama, menyangkut Demokrat.
Moeldoko dan SBY
Dua jenderal yang berbeda kapasitas. Jika berbicara SBY dan Moeldoko. Karena SBY tidak pernah menjadi KSAD aplagi Panglima ABRI atau Panglima TNI. Bintang tiga dan menjadi empat usai purnawirawan. Â Itu tidak menjadi penting.
Lebih menarik adalah kondisi Demokrat pada awal 2004 yang perlu sosok dan para pendiri dan elit  Demokrat yang masih bayi itu melabuhkan pilihan pada SBY. Harapannya adalah kebesaran Demokrat di masa datang, paling tidak dalam pemilu terdekat. Semua terbuktii dan berhasil.
Suara pilg memang tidak cukup besar. Namun lumayanlah sebagai partai pemula. Lebih menggembirakan tentu saja dengan mengusung capres dan menang pada kesempatan pertama. Luar biasa. Tidak bicara mengenai trik dan intrik lain, ini soal jenderal bintang tiga dan partai baru yang meroket. Mengenai intrik itu bisa dikupas pada kesempatan lain.
Peroide dua tidak perlu juga menjadi pembahasan. Karena toh sudah dikuliti oleh kader dan elit proKLB kemarin-kemarin. Tidak mendasar dalam kupasan ini.
Nah kini, trisemester pertama 2021 ternyata ada kondisi yang identik. Sebagian elit dan kader Demokrat merasa keberadaan partainya perlu "penyelamat" demi menaikan kembali kejayaan yang sempat mereka miliki.
Pandangan sebagian pihak ada pada figur Moeldoko. Konon ada yang menilai ini adalah keterpaksaan karena desakan atau tekanan dari SBY dan juga AHY yang terus menerus melibatkannya. Â Boleh dan bisa saja. Pendapat lain mengatakan kalau ini upaya untuk "menjinakkan" Demokrat. Kooptasi karena Demokrat berisik. Boleh, menganalisis demikian.