Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

3 Skenario Demokrat Usai KLB

6 Maret 2021   15:36 Diperbarui: 6 Maret 2021   15:42 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

3 Skenario Demokrat Usai KLB

Kisruh Demokrat baru memasuki babak baru. Sebulan penuh baru perang  opini. Antara pendukung dan yang tidak pada kepempinan AHY. Masing-masing menjual opini dan narasi mengenai keberadaan Demokrat.

Pendukung AHY menyatakan, sah kepemimpinan AHY tidak perlu diutak-atik. Sebaliknya, kubu yang kontra menilai tidak sah, banyak masalah, dan suara pemilih yang terus terusan turun menjadi catatan yang perlu diakhiri. Saling menyajikan data dan argumen yang semasuk akalmungkin.

Kemarin, 5 Maret toh KLB sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur, tidak lagi bisa menjadi nasi goreng, sebagaimana beberapa waktu lalu mereka mengolok kondisi negara.  Apa yang bisa dibuat, ketika telah menjadi bubur begini?

Mrengek terus, mencari kambing hitam, menyerang Jokowi dengan berbagai-bagai narasi.  Jika benar demikian, jangan salahkan ketika MenkumHAM ikut jengah dan dengan sadis ketok palu dan menyetujui KLB kubu Moeldoko.

Mengapa? Menteri membela Jokowi karena jengkel direcokin terus. Demokrat sudah sekian lama "rewel", saatnya "membalas". Hal yang sangat logis bukan? Siapa yang salah? Ya salah sendiri karena ribet dan ribut tanpa tahu aturan dan batas.

Sesuai dengan dengungan mereka. Ingat isu kudeta ini awalnya sepi. Moeldoko mengaku tidak tahu menahu dan ia pikir sudah selesai. Malah kubu AHY yang ribut terus. Wajar ketika Semesta mengabulkan kehendak mereka. Kudeta terjadi.

Eh kini malah menyoal kementrian. Sudah ada sebentuk "ancaman" dan keinginan. Padahal waktu itu KLB belum terjadi. Lagi-lagi mereka lah yang mengundang keadaan itu terjadi. Jika benar KemenkumHAM menyatakan legal kepengurusan kubu Moeldoko, ya sudah sesuai dengan apa yang mereka minta.

Pengulangan menyoal Jokowi yang katanya terlibat, eh ganti tidak tahu apa-apa. Kemudian diulang lagi, mendiamkan, narasi begitu terus. Jika presiden bersikap, bisa dipastikan akan ada opini, presiden berpihak. Mereka menciptakan simalakama pihak lain, malah menjebak sendiri. Lagi dan lagi ini adalah jawaban atas apa yang mereka yakini.

Bisa juga pihak kementrian hanya menggantung. Keduanya tersandera untuk bersikap. Mereka kacau sendiri dengan ketidakjelasan itu. Sangat mungkin terjadi. Namanya juga politik, sebuah permainan.

Kedua, akan ke pengadilan. Menambah masalah dan musuh. Narasi yang akan berkembang masih sama saja. Merasa diri paling benar dan pihak lain pasti salah dan buruk sepenuhnya. Golkar, PKB, dan partai lain pernah mengalami hal yang sama. Melelahkan dan bising.

Hal yang seharusnya tidak terjadi. mengapa? Namanya demokratis, artinya hal-hal yang bersifat perbedaan pendapat itu sebisa mungkin diselesaikan dengan kedewasaan, kebijaksanaan, dan kepala dingin.

Namun lebih jauh, memang ke meja hijau tidak buruk. Lebih baik dari pada hanya perang opini dan narasi. Asal, mau rendah hati, merasa diri ada persoalan yang perlu diperbaiki, dan pihak lain mungkin juga ada kebenaran. Tanpa hal demikian akan susah.

Ribet lagi, jika malah nanti masih saja menuding Jokowi, melibatkan menteri ini dan itu. Rakyat sudah  banyak yang jenuh dan bosan ketika ke mana-mana. Hal ini ditunjukan dengan kata-kata Demokrat dan bangsa berkabung. Siapa yang merasa bersedih atau berduka? Demokrat? Bener demikian? Apalagi bangsa ini.

Itu pasti terjadi, jika kubu Moeldoko yang menang. Memang akan berbeda jika kubu AHY yang dinyatakan menang oleh hakim.  Tapi pasti akan berkepanjangan, tuntut menuntut tidak berkesudahan.

Ketiga, ini yang paling bagus. Namun apa mau dengan rendah hati mengakui ada masalah? Rekonsiliasi, islah, ada perdamaian. Perselisihan politik itu  juga bisa dibicarakan kog. Hanya masalahnya mau tidak?

Rekonsiliasi itu harus ada kemauan baik, rendah hati, dan mau mendengarkan satu sama lain. Kelihatannya sih susah, walaupun bukan tidak mungkin. Melihat kehendak Jhoni Alen dan Marzuki Ali dulu sih ada celah. Namun sikap SBY yang kadung terluka entah apa mau atau tidak. Susah melihat  kebiasaa SBY itu.

Jika mau hal demikian, kelihatannya sih perlu mediator untuk menjembatani kedua belah pihak. Masih cukup terbuka sih, namanya politik. Agak susah ini soal kendaraan untuk pilpres 2024. Suara yang tidak cukup signifikan, jelas hanya ada satu yang bisa terakomodasi.

AHY sih masih sangat panjang langkahnya. Masih  bisa banyak belajar dan berkembang. Tidak harus 24. Jika mau "mengalah" bukan tidak mungkin masuk kabinet dan nantinya bisa memberikan bukti kepada pemilih. Jangan khawatir, tiket itu otomatis. Lihat saja tiba-tiba Risma naik daun. Karena ada panggung yang gamblang.

Moeldoko ini kesempatan trakhir. Iya atau tidak sama sekali. Nah kendaraan ini menjadi penting, sehingga nantinya bisa bekerja sama dengan partai besar. Seperti PDI-P, Gerindra, atau Golkar untuk bisa ikut dalam kontestasi 2024. 

Pilihan paling realistis point ketiga ini. Memang perlu sosok yang bisa menjadi penengah. Cukup susah, SBY itu mantan presiden. Gengsinya gede.  Siapa yang ia dengar dan mau ikut nasihatnya? Hampir mustahil ada sikap ini.

Layak ditunggu ke mana dan seperti apa nantinya. Semua kemungkinan bisa terjadi. Namanya juga dinamika politik.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun