Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KLB dan AHY Bukan SBY

5 Maret 2021   13:58 Diperbarui: 5 Maret 2021   14:16 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KLB dan AHY Bukan SBY

Entah sampai kapan Demokrat bisa tenang. KLB yang bagi kubu AHY adalah ilegal. Toh pemilik suara sudah menyerukan kehendak mereka. Hari ini terjadi demikian. Kala Andi Arief mengaku akunnya dibajak, hal yang naif, toh di Sumut KLB akan berlangsung.

Andi Arief ini salah sebenarnya, posisi kubunya itu kini pada keadaan lemah. Maunya menjual derita, apa daya malah menjadi obyek cercaan. Lihat saja lebih banyak mana yang membela atau malah memihak untuk KLB. Arahnya makin jelas.

Kondisi 2004 berbeda dengan 2021 ataupun 2024. Pada 2004 Demokrat memerlukan sosok besar yang bisa menjual. Usai sipil dirasa tidak memberikan jaminan, figur militer sangat menggoda. Apalagi permainan ciamik memainkan politik korban sangat melambungkan SBY.

Pembicaraan hanya via media. Televisi pun belum semasif sekarang. Media sosial masih cukup terbatas.  Kini, media berlomba-lomba menjual kecepatan. Ini yang fundamental membedakan. Smua pihak dengan gencar menjual kebenaran dan klaim versi mereka. Nah, ketika publik memihak, dan itu menjadi pendengung, jangan kaget, malah seolah menjadi bumerang. Senjata makan tuan.

Pengulangan oleh SBY makin menjadi-jadi. Reputasi AHY dipertaruhkan, bukannya membantu malah menejerumuskan. Sama kuatnya dengan narasi pihak proKLB yang menguak satu demi satu tabiat SBY. Hal yang biasa saja dalam berdemokrasi yang masih kanak-kanak.

Sejatinya AHY bisa dengan semangat demokrat, muda, dan visioner menjawab tantangan KLB dan ikut menjadi kandidat. Dengan demikian, ia benar-benar terbukti memang dipercaya kader dan mampu meyakinkan pihak yang berseberangan.

AHY mencari pembenaran bukan menegakan kebenaran

Ia bersafari pada pihak yang seide dengannya. Sama juga dengan meniup luka. Bisa infeksi namun memang nyaman, tapi tidak menyembuhkan. Benar dengan demikian, mendapatkan legitimasi, tetapi kan tidak mengubah keadaan.

Orang marketing yang menjual di mana kawasan itu memang pelangganya tidak akan puas. Berbeda ketika bisa menjual di mana rival yang menguasai pasar. Nah pada yang berseberangan ia main pecat, dan sowan pada yang segagasan. Ini biasa bias. Lihat saja para pendiri mengatakan SBY adalah inisiator, pencipta lambang-bendera, dan mars Demokrat. Itu sah-sah saja.

Tetapi ada juga dan itu tidak kalah kuat yang mengatakan SBY datang ketika sudah verifikasi, artinya jelas bukan pendiri. Ini juga kuat terdengar. AHY jauh lebih bijak ketika merangkul pihak ini untuk bersama-sama membesarkan partai. Lha malah mendepak.

Ingat orang yang ditendang bisa sangat buas dan membalas dengan tidak kenal belas kasihan. Kondisinya berbeda. Dulu deklarator dan partai baru itu perlu sosok dan nama besar, dan SBY bisa dijadikan simbol itu.

Kini, justru sebaliknya. Nama yang disodorkan SBY itu bukan jawaban atas kebutuhan Demokrat saat ini. Hal yang  sebenarnya sederhana saja. Perbedaan persepsi. Ditambah tingkah kader dan elit Dmokrat malah seolah jawara.

Mengatakan Jokowi lembek, namun sekaligus merengek untuk membantu. Kan naif, bagaimana bisa orang minta bantu namun malah mencela dulu. Khas anak-anak. Jadi ingat momen Kompasiana lampau, di mana ada akun yang biasa mencela tulisan, dan lebih sering penulisnya, tetapi rajin banget nitipkan link. Sama juga meludahi muka sambil minta mangga kan?

Siapa yang untung dengan blunder-bluder ini? Moeldoko dan proKLB. Mereka tidak usah teriak-teriak, ngiklan, malah sudah diwartakan oleh kubu AHY sendiri. Ini sama juga dengan membanting dengan meminjam tenaga lawan. Hal yang hanya bisa dilakukan oleh pelaku level tinggi pada pelaku yang masih latihan. Miris sebenarnya.

Pelaporan polisi ini juga nanti menjadi tertawaan. Kan sesuai dengan AD-ART. Apalagi jika malah menyalahkan kapolri dan presiden. Ancaman halus mau demo ke istana ini kan khas bocah yang merasa dinakalin kakaknya.

Belum lama juga mereka menertawakan Jokowi dengan meledek jualan nasi goreng karena ekonomi sulit. Eh kini malah berbalik arah dan mengemis untuk membantu.  Lucu dan tidak cukup malu tampaknya.

Menyasar Jokowi itu andalan yang salah sasaran. Menghantam balik dengan telak. Ditindaklanjuti dengan mengatakan  Jokowi tidak tahu apa-apa oleh AHY dan diulangi SBY makin membuat keadaan makin buruk. Reputasi masa lalu pemain drama diungkit. Ini jelas memberikan amunisi bagi pihak proKLB.

Memecat yang kontra pada AHY jelas blunder dan ujian yang gagal bagi AHY. Jauh lebih menjanjikan jika AHY bisa melakukan konsolidasi. Sowan kepada mereka-mereka, bukan malah membuang mereka.

Mendepak mungkin serasa kemenangan. Tetapi jangan salah, ketika mereka menghimpun kekuatan, jangan kaget ketika mereka melebihi Demokrat AHY. Ingat dan lihat PDI-P. PDI  tinggal  kenangan lho.

Menyasar terus menerus Moeldoko, sangat mungkin ini malah membuat Moeldoko akhirnya mengiyakan saja. Kan makin celaka. Semua terjadi justru dimulai dari AHY dan SBY lebih dulu.  Tidak ada yang salah dengan keberadaan Moeldoko.

Ini politik, jangan menghitung matematis. 1200 kader itu bukan sepele lho.  Kalau tidak hati-hati dan hanya mencari kambing hitam, apalagi salawi, bisa bahaya bagi AHY dan SBY.

Ini sih kriwikan dadi grojogan, awalnya hanya aliran air yang kecil berubah menjadi gede karena salah bersikap. Nasi telah menjadi bubur. Perlu sikap yang cerdas dan luar biasa dari kubu AHY. Melihat reputasinya sih tidak akan ada upaya yang luar biasa. Pelaporan polisi, menuntut Jokowi, dan seputaran itu.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun