Moeldoko: (SBY) Jangan Tekan-tekan Saya!
Makin memanas, isu "kudeta" Demokrat. AHY menekan istana dan Jokowi diam saja membuat SBY turun gunung. Menepikan Jokowi namun makin menyeret Moeldoko, Demokrat not for sale. Mantan Panglima TNI ini tidak tinggal diam.
Respon yang sangat wajar dengan pernyataan yang normatif. Tidak ancaman laporan polisi, pencemaran nama baik, dan sebagainya. Gaya baik dalam perbedaan pendapat. Tidak juga menjua derita.
Jenderal ya lawannya jenderal. SBY malah semakin mengukuhkan diri AHY yang cuma mayor. Ini jelas tidak sempat dipenggalih oleh SBY. Padahal, pada dasarnya SBY mau membantu sang anak untuk bisa lebih kuat menekan Moeldoko. Ternyata malah blunder.
Salah satu elit Demokrat mengatakan jika SBY makin kalut karena desakan KLB semakin menguat. Jadi bukan tidak mungkin, nantinya bukan Demokrat itu dikudeta dan dibeli, namun malah dengan suka rela beralih tangan.
Keberadaan AHY yang masih kurang dari syarat keanggotaan makin mempersulit keadaan. Sebenarnya lebih aman, ketika EBY menjadi ketum, tetap AHY menjadi capres atau cawapres, itu lebih aman dan sesuai AD/ART.
Kini, nasi sudah menjadi bubur. Ketika Moeldoko nantinya didaulat kader yang merasa sayang kepada partai, ya jangan salahkan para kader lain.
Apa yang disampaikan SBY dengan diksi turun gunung, susah mendapatkan keadilan, berjuang skuat tenaga untuk mempertahankan Demokrat, sedikit banyak menggambarkan kepanikan. Namanya demokrat, ya siap kalah dan menang dalam koridor AD-ART, bukan jual derita.
Moeldoko belum mengatakan mau berbuat apa. Tetapi jika mencermati pernyataannya tidak akan tinggal diam. Padahal menurutnya, hal itu sudah selesai, tidak lagi peduli. Ternyata kog masih berkepanjangan.
Menarik ketika ada perang bintang. Satu asli bintang empat dengan jabatan panglima, satu bintang empat anugerah. Ke mana akhirnya masih cukup panjang. Jauh lebih bijak SBY menahan diri dan konsolidasi ke dalam. Pak Jokowi tidak akan peduli, waktu dan energinya untuk bangsa dan negara ini.
Nama besar yang ternyata malah menjadi beban. Ribet dengan bayangan sendiri. Orang yang berteriak ketidakadilan itu menggambarkan kondisi kejiwaannya yang labil. Pantesan tantrum terus.