Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Netizen Paling Tidak Sopan dan Polisi Siber

25 Februari 2021   18:26 Diperbarui: 25 Februari 2021   18:28 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Netizen Paling Tidak Sopan dan Polisi Siber

Tidak ada sangkut pautnya sebenarnya. Namun dua hal yang saling menunjang ini hadir pada saat yang hampir barengan. Warganet atau netizen Indonesia memang "liar, buas, dan barbar". Apalagi jika bicara rival politik. Jangan harap bisa sopan.

Beberapa hal layak dicermati,

Satu, tingkah elit yang memberikan contoh. Kata-kata kasar, makian, baik bahasa daerah, bahasa Indonesia dengan mudah terlontar. Cek saja, apalagi ketika berbicara mengenai politik dan ideologi.

Ini bukan soal pendidikan dan taraf ekonomi. Tetapi ungkapan dan pelampiasan perasaan yang berlebihan. Miris, jika kalangan elit pun demikian. Cek saja sendiri dengan mudah. Apa sudah lupa, kata lonte pada saat pengajian oleh imam besar pula?

Dua, konteks kadang becanda. Contoh, grup bonsai, ada yang bertanya serius, namun jawabnaya becanda. Pohon waru namun disebut sebagai pohon terong. Konteks jelas becanda, tetapi sangat mungkin bagi orang asing itu adalah pelecehan, tidak sopan.

Memang ada yang marah dengan model demikian. Toh banyak yang menilai itu sebagai sarana kebersamaan.

Tiga, Barat menilai pelecehan, di sini biasa saja. Contoh memanggil orang dengan bagian tubuh, misalnya gendut, gembul, item, jliteng. Ini jelas sudah pelecehan dan tidak sopan bagi budaya lain.

Empat, karena abai etika. Lha orang tidak mau tahu etika memang. Lihat saja asu, lonte, babi, tai, dan sebagainya terlontar, bahkan ada ulama yang kata-kata itu sebagai bagian dari pengajiannya. Ini memang masalah.

Kehadiran polisi siber memang baik dan mendukung. Sepanjang bisa tegas pada semua pihak, tidak tebang pilih. Lihat saja selama ini. Ujaran kebencian begitu telanjang ada di mana-mana. Melaju dengan tenang karena ada tameng agama.

Hrapan tetap harus digelorakan. Tetapi masih juga ragu, kala model pendekatan kita masih sama saja. Kalau tidak hangat-hangat tahi ayam. Mirisnya tebang pilih.

Setuju untuk memberikan pembelajaran biar lebih beradab. Lebih baik lagi, bukan semata pelanggaran hukum. Masuk ranah pelanggaran etika juga layak dikedepankan.

Kebebasan juga yang beretika. Mengaku beradab ternyata biadab. Paling ribet dan ribut agama, tetapi memaki dengan ringan saja.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun