Playing Victim Demokrat akan Gagal?
Beberapa waktu ini, sentral politik berkaitan dengan Demokrat. Belum reda mengenai kudeta, bergeser kepada pernyataan mantan ketua DPR RI yang mengaku pernah mendengar SBY mengatakan Megawati kecolongan. Tiba-tiba tanpa kaitan dan hubungan sama sekali malah kisah dan kejadian yang menimpa Nissa dihubungkan dengan Annisa Pohan, istri ketua umum Demokrat.
Belum lagi, betapa viralnya uang dana hibah untuk museum SBY-Ani yang kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan. Salah sendiri, atau sengaja dengan mengaitkan Grha Mega dan makam Gus Dur. Pemrov Jatim akhirnya gerah dan memerintahkan pembatalan dana hibah. Keluarga Gus Dur pun sama, dan berujung minta maaf oleh Rachland.
Soal Nissa dan Anisa Andi Arief langsung menuding buzzerRP yang berperan untuk mengaitkan kisah ini dan juga menyangkut keberadaan Anisa yang tersemat dengan kasus pelakor. Uniknya Andi mengatakan, itu kan ibu atau istri atau saudara perempuan, sama dengan yang menayangkan itu. Hal yang naif telah terpapar, bagaimana Andi dan kolega ketika menyasar, menuding, dan mengaitkan siapapun pada keadaan tidak enak mereka.
Mosok sudah lupa menyasar Jokowi dengan kudeta dan kemudian diralat, tanpa minta maaf pula. Khas permainan mereka. Â Nah menarik adalah, apakah masih efektif keberadaan politik korban, penzoliman, atau playing victim ini bagi keberadaan Demokrat ke depan?
Suka atau tidak, pengguna politik korban dan sukses besar ya SBY ketika pemilihan presiden 2004. Kini sedikit banyak sudah diungkap oleh Marzuki Ali secara lugas. Selama ini, kan hanya praduga dan melihat rekam jejak saja, tapi Marzuki Ali mengatakan itu dengan gamblang. Lebih memberikan bukti.
Kesuksesan itu hendak diulang-ulang. Lha apa semua ada momentum dan tepat dengan apa yang dikehendaki? Belum tentu. Â Menjadi persoalan pula adalah, kini semua dengan sangat mudah bisa ditemukan pembanding dan mana yang lebih benar dengan cara yang sangat mudah, murah, dan cepat.
Pengulangan itu susah karena,
Berulang kali dengan cara, pola, dan pendekatan yang sama. Massa sudah jenuh, hafal, dan tidak lagi mudah percaya. Merasa pernah terpedaya dan tidak mau lagi. Kesadaran sudah meningkat. Lihat saja sekarang bagaimana tanggapan atas perilaku Demokrat.
Pengulangan itu juga membuat rekam jejak. Nah karena kemajuan teknologi, orang dengan  gampang akan mencari pembanding, dan melihat mana yang lbih logis, mendekati kebenaran, dan lebih tepat mengenai sebuah peristiwa.
Berbeda dengan beberapa tahun lalu, cukup lama orang bisa menemukan pembanding dan kemudian menyimpulkannya. Berita hanya koran dan televisi, itu pun belum tentu utuh, atau semua sisi diungkapkan.
Kecepatan media informasi era modern ini bagi pemain politik korban bermakna ganda. Sesaat dapat mendapatkan simpati, namun dengan cepat bisa pula terdampak karena penemuan baru, sisi lain yang terungkap. Model koran tidak bisa demikian, sekali dimuat, baru esok harinya ada pembanding dan belum tentu terbaca.
Internet  pembanding itu hanya trtinggal sekian detik saja. Penyajian bantahan atau pro pun dengan hitungan detik sudah bisa terpampang dengan sangat gamblang. Publik hanya memilah dan memilih mau ikut yang mana.
Jejak digital  tidak pernah bisa dihapus, dan ini menjadi celaka jika tidak hati-hati dalam bermain narasi.  Karena dengan mudah akan disandingkan dengan narasi pada waktu lain. contoh Anies soal kolam hasil banjir 2020 dan 2021 yang bertolak belakang. Anak bahagia dan bahaya. Jejak digital sangat kejam jika tidak konsisten.
Apakah benar buzzerRP atau orang yang sudah jengah dengan model drama Demokrat? Keduanya sangat mungkin terlibat dan berkolaborasi. Siapakah buzzerRP ya silakan terjemahkan sendiri. Siapa yang jengah dengan laku Demokrat? Ya orang yang tidak suka dengan cara mendramatisir keadaan. Ini bisa juga orang yang dulunya simpatisan, bahkan kader sekalipun.
Sayang, Demokrat yang segede itu kini merana dan menjadi parpol menengah bawah. Susah melihat bisa melonjak lagi jika melakukan hal-hal yang ngaco terus seperti selama ini. Ubah pendekatanya bisa jauh lebih efektif.
Menyasar dan menyerang Jokowi dengan segala cara toh telah gagal, malah cenderung membuka catatan buruk sendiri. Mosok juga mau diteruskan, apakah tidak ada evaluasi bahwa cara ini telah gagal. Tentu bukan menyatakan Jokowi telah sempurna, tetapi justru kekuatan Jokowi yang dihajar, ini sia-sia. Masih banyak celah yang bisa dieksplorasi, namun malah dibiarkan saja.
Menjual derita telah publik pahami dengan sangat mudah. Lha apa ya mau terus-terusan dipakai. Apalagi ketika rencana itu buruk dan berantakan. Masih banyak cara dan jalan untuk mencapai tujuan, tidak usah mengulang-ulang cara usang.
Menuding buzzer, menyoal istana, pemerintah, itu telah terbukti tidak banyak membawa dampak baik, mengapa dipaksakan terus? Pembicaraan tapi cemar lha apa iya masih mau dipertahankan?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H