AHY dan Rachland Nashidik, Lagak Oposan dan Revisi UU ITE
Kala ramai-ramai berbicara buzzer dan dukungan atau anti-keberadaannya, mencuat pula pembicaraan revisi UU ITE. Paling heboh biasa PKS. Ahlinya memainkan narasi via sosmed, dan mengaku memiliki ribuan relawan, tiba-tiba teriak buzzer harus ditertibkan. Hal yang wajar sih, kepentingan.
Ketika menyoal revisi UU ITE, ya layak dilihat kapan dan siapa yang ada di balik UU ITE tersebut. Masa di mana UU itu diundangkan dan kemudian mengapa kini mempersoalkan itu. Mengapa demikian dan ada apa? Layak dicermati, apakah UU-nya yang bermasalah atau karena sebab yang lain?
Pengundangan UU ITE terjadi kala zaman pemerintahan SBY, Demokrat dan PKS ada di sana. Mereka pemegang kendali pemerintahan, yang berarti pula memiliki kewenangan membuat warna UU itu akan seperti apa. Tahun 2008 lho, mengapa tahun 2021 baru mempersoalkan itu dan aneh, sebagaimana Mardani Ali Sera menantang Presiden Jokowi untuk melakukan revisi itu dalam waktu satu bulan.
Betapa ruwetnya lembaga kita, terutama legislatif untuk bisa bicara revisi dalam satu bulan. Padahal sangat mungkin bisa, namun atas nama demokrasi, aslinya kepentingan sendiri kemudian membuat alur menjadi berbelit dan dengan berbagai dalih molor dan ujungnya menyalahkan pemerintah dan juga mengatakan tidak mampu. Sudah terbaca dengan mudah dan gamblang.
Pasal Karet dan Multitafsir
Hal yang masih bisa diperdebatkan, ini soal pasalnya atau pelaku penegak hukumnya yang ngaret? Keadaan ini real terjadi, bahwa memang isu dan desas-desus pasal yang diperjual belikan, pasal yang penuh dengan kepentingan itu konon ada. Ini kondisi yang memang harus diakui masih terjadi.
Lucu adalah, ketika masa lalu, kisaran 12 tahun lebih tidak menyoal keberadaan UU ini, mengapa tiba-tiba ribet da ributa? Ataukah karena kini menyasar si pembuat dan tidak nyaman dengan perilaku mereka yang selama ini memang biasa mengaco dan berlindung pada pasal yang telah mereka persiapkan?
Keadaan berbalik keras kepada mereka kemudian menjadi panik. Sisi lain, sangat mungkin perangkat hukum yang ngaret dengan keadaan yang ada. Berbagai alasan sangat mungkin menjadi pembenar atas pilihan karetnya. Bisa ideologi, bisa karena uang, dapat juga karena kepentingan kelompok dan jabatan. Itu keadaan hukum yang memang harus dihadapi.
Nah bertolak dengan latar belakang yang ada demikian. Dalam waktu dekat ini dua kali rakyat disuguhi permainan lidah ala elit dan kembali juga mengenai pasal ini, bagaimana mengatakan hal-hal yang tidak enak melalui media sosial. Dua elit Demokrat, ketua umum terlibat pula.
AHY dengan drama kudetanya. Ia menyoal Presiden Jokowi, istana, dan orang lingkaran kekuasaan. Tidak berapa lama mengatakan telah mendapatkan signal bahwa presiden  tidak tahu apa-apa mengenai aksi tersebut. Tanpa merasa bersalah sama sekali, seolah biasa saja berlaku demikian pada pemimpin negara.
Hal yang identik dilakukan Rachland Nashidik yang mengidentikan makam Gus Dur dengan museum SBY, soal penggunaan anggaran negara. Usai mendapatkan somasi dan pembicaraan amat masif, ia meminta maaf dan menjelaskan panjang lebar dan meminta maaf.
Hal-hal yang selalu terulang, ketika pihak yang menarasikan paham dan mengklaim diri oposan, mendapatkan penegakan hukum ujungnya minta maaf, mengaku dipelintir media, atau tidak bermaksud demikian.Â
Jika kasus berlanjut akan membuat wacana kriminalisasi atas kebebasan berpendapat. Padahal jauh berbeda. Bandingkan kata-kata Rocky Gerung,
Revisi UU ITE lebih dulu revisi otak Jokowi. Ini benar kritik, kebencian, atau asal bicara. Kita telaah lebih dalam lagi. Siapa pembuat UU? Pemerintah bersama dengan DPR. Mengapa hanya menyoal otak Jokowi, kritik itu akan mengatakan coba cernak dulu otak presiden, ini masih kasar, namun sudah bisa dipahami sebagai kritikan. Menyebut nama, dan melepaskan pihak-pihak yang berkepentingan jelas sudah ngaco.
Lebih baik dan benar lagi, perbaiki dulu pola pikir pemerintah dan dewan, kalau mau melakukan revisi pada UU. Ini dua lembaga, bukan pribadi Jokowi saja. Ingat Jokowi itu presiden, kepala pemerintah dan kepala negara, bukan pribadi. Jika Jokowi sebagai pribadi, pasti akan ada narasi Jokowi otoriter.
Ada tiga model oposan dalam bersikap. Mikir belakangan, pokok omong dulu. Ketika sudah kepentok kasus akan mengaku terzolimi, dipelintir media, dan kalau sudah tidak lagi bisa berkelit akan mengaku khilaf dan meminta maaf.
Jangan kaget kalau akar rumput juga meniru demikian, dan polisi akhirnya kewalahan menerima aduan dan sibuk dengan hal-hal remeh yang sejatinya semata karena emosional. Jika sedikit saja menggunakan nalar, sedikit saja lebih rasional, hal-hal demikian tidak akan terjadi.
Berani menang tidak siap kalah, telah menjadikan republik ini gaduh. Elit yang kekanak-kanakan menjadikan rakyat juga jengkel dan ikutan latah. Hal yang menghabiskan energi, seharusnya lebih banyak energi positif yang tersalurkan, bukan malah menghabiskan energi untuk hal-hal sepele.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H