Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

7 Alasan Kemarahan pada Nissa Sabyan

20 Februari 2021   10:39 Diperbarui: 20 Februari 2021   10:55 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

7 Alasan Kemarahan pada Nissa Sabyan

Artikel ini tak hendak menghakimi apa yang terjadi pada NS sebagai pribadi ataupun artis. Itu hak dan pilihannya.  Tulisan ini justru mau melihat mengapa orang bisa begitu marahnya, menyematkan ini dan itu pada pribadi lain. Kadang, mereka ini jauh lebih mengidolakan pada awalnya, dan ketika kecewa kemudian menjadi hakim dan penghukum yang sangat  keras.  Pecinta jadi pembenci, hal yang biasa terjadi.

Lepas dari pro dan kontra atas pilihan percintaannya, apapun profesi orang, atau tampilannya, suka atau tidak di dalam tabiat hidup bersama bangsa ini, akan menjadi heboh, riweh, dan kacau balau. Seolah dunia runtuh dan menunggu kasus baru, mungkin bisa terlupakan. Kadang malah diingatkan kembali dan menjadi lebih seru karena mendapat bumbu dan settingan baru. Entahlah apa bisa selesai dengan model demikian.

Tulisan ini hendak melihat, fenomena yang ada, dalam kasus model ini, siapapun pihaknya, kebetulan NS. Sedikit  ilustrasi yang mirip, ada tetangga anaknya hamil belum menikah dan ketika melahirkan si anak diberikan kepada bapaknya. Eh si nenek dari bocah yang tidak tahu salahnya ini bisa bergosip anak tetangga tidak menikah sah memiliki dua anak. Kog tega.

Mengapa begitu marah, kecewa, dan penghakiman yang begitu keras?

Pertama, tabiat hidup bersama kita cenderung ikut campur atas urusan orang dengan mengatasnamakan solidaritas atau adat ketimuran. Kebiasaan kecil yang awalnya basa-basi berkembang menjadi ikut campur. Jangan salah, ketika ranah privat pun bisa menjadi konsumsi publik.

Belum lagi perkembangan teknologi informasi yang tidak dibarengi dengan pengetahuan dan ranah etika yang mumpuni. Gosip seolah  menjadi gaya  hidup. Belum lagi industri hiburan yang belum sampai memberikan tuntutan dengan tontonan mereka.  Nilai, pesan moral, dan ranah etis belum menjadi panduan dalam membuat tontonan, pokoknya rating, hits, dan iklan menjadi mahakuasa.

Kedua, kecewa karena tampilan. Orang masih saja gagap ketika tampilan seolah mewakili keseluruhan pribadi. Hal yang ironis, orang sudah saatnya melepaskan apapun atribut tanpa mengaitkan dengan kepribadian apalagi pilihan hidupnya. Bedakan, label dengan isi, lepaskan pakaian dengan badan apalagi kemanusiaan.

Ketiga, politik, karena NS pernah berafiliasi pada sosok dan pilihan politik tertentu. Kini dibalik dengan apa yang pernah terlontar dari ucapan politik yang dikemas pula dengan agama. Hal yang sejatinya berbeda dan tidak bisa dijadikan satu, semua jadi kacau balau. Politik ya politik, pribadi ya pribadi, agama ya agama, semua ada porsinya. Biarkan apa adanya pada proporsi masing-masing.

Keempat, pakaian dan profesi spiritualis. Hal lagi-lagi berbeda dengan pilihan pribadi yang tidak berkaitan langsung dengan apa yang ia kenakan dan ia kerjakan. Masih perlu waktu dan proses untuk bisa menyatukan antara pakaian, profesi, dan juga kehidupan sehari-hari.

Tokoh agama, apapun agamanya saja masih banyak yang belepotan, apalagi hanya karena menyanyikan lagu religius. Ini berbeda.

Kelima, ekspektasi yang terlalu tinggi. Penonton, masyarakat, selalu saja gagap melihat fenomena yang ada. Kecewa sangat besar, ketika tokoh idolanya ternyata membuat pilihan yang tidak disukai.

Lihat apa yang terjadi pada Mario Teguh,  Susi Pudjiastuti, dan ketika Ahok bercerai. Hal-hal yang biasa sebenarnya, namun menjadi konsumsi publik dengan masif, kecewa amat sangat, dan berkepanjangan. Padahal sebenarnya normal-normal saja.

Keenam. Kagum berlebihan. Kagum boleh, tapi jangan berlebihan, dan juga bedakan, ketika ia dikagumi sebagai apa, jangan kemudian maunya semua hal harus ideal, sempurna, dan menyenangkan, semua sesuai dengan keinginan kita.

Lha Tuhan saja kadang  masih kita anggap mengecewakan apalagi manusia.  Hal yang sangat naif sebenarnya ketika menginginkan insan tapi sempurna.

Ketujuh. Manusia tidak ada yang sempurna. Nah ketika melihat yang tidak sempurna ini, jangan kemudian merasa dunia sudah runtuh. Lha itu tandanya manusiawi. Masih manusia. Tidak ada yang sempurna di tengah dunia ini.

Justru kita menjadi keping kesempurnaan bagi yang lain. Kita ini bertugas di tengah dunia untuk melengkapi kelemahan dan kekurangan pihak lain. Di sinilah peran manusiawi itu mendapatkan nilai pentingnya.

Pilihan hidup seseorang, di balik apa yang tampak kita tidak tahu. Jauh lebih penting adalah pelajaran.  Menilai, menghakimi, lah belum tentu kita lebih baik. Tidak berarti bahwa karena belum tentu lebih baik membiarkan yang jahat. Tidak sama sekali. Tetapi, ranah kita, kapasitas kita, dan lebih baik kog evaluasi diri, refleksi, dan mawas diri, jangan sampai kita membuat orang lain terluka.

Kasus demikian itu banyak korban, kadang yang sedang bahagia itu pun aslinya menderita, lihat saja penghakiman seperti itu, apa iya bisa bahagia secara hakiki. Apalagi nantinya juga akan diungkit lagi dan lagi. Labeling yang mengerikan.

Saatnya berhenti, dan menyadari, bahwa semua bisa mengalami. Media terutama untuk bisa menyajikan tontonan dan tuntunan, bukan semata asal laris manis.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun