Kala Buzzer Membunuh Penciptanya, Salah Jokowi juga?
Bak film-film perang dan animasi lainnya, di mana ciptaan mereka akhirnya tidak terkendali dan menyerang si pembuat. Begitu banyak film terutama Hollywood yang menggunakan tema dan soal demikian. Kini, dalam dunia nyata kita, ternyata ada yang demikian. Buzzer kini bak bola salju yang menerjang siapa saja, termasuk sang penggagas untuk ikut tergulung.
Dua sisi terciptanya buzzer, antara aksi dan reaksi. Pertama, sebagaimana pengakuan PKS, mereka menyediakan relawan, ini hanya istilah, pihak yang berseberangan boleh lah menyebut buzzer, sama juga tudingan buzzerrp bagi pendukung pemerintah ala mereka.
Putihkan media sosial, atau putihkan Senayan, putihkan TPS, itu sudah dipahami khas PKS dan laku mereka dalam kampanye melalui media sosial. Rekam jejak itu sangat mudah kog dicek kembali. Perlu diingat, jejak digital tidak bisa sama sekali dihapus. Ketika berjaya mereka bangga dan mengaku dengan kepala tegak menguasai media sosial.
Berbeda ketika keadaan tidak menguntungkan, angin berbalik arah, dan kini malah menyasar ke dalam permainan sendiri, teriak minta dibinasakan, ditertibkan. Lha padahal siapa yang menciptakan?
Jelas sudah menggulung pencetus gagasan awal adanya buzzer, kedua, media, terutama arus utama yang memiliki framing tertentu. Eh malah Dewan Pers menuding buzzer sebagai masalah. Padahal  karena ngaconya media arus utamalah lahirlah militansi pada para relawan atau buzzer ini. Jadi,  media sebagai pembangkit militansi buzzer-relawan sama-sama tergulung oleh para ciptaannya.
Buzzer dan atau relawan itu sebenarnya akan hilang dengan sendirinya, jika media sudah berlaku dan bertugas sebagaimana mestinya. Beberapa gambar berikut memperlihatkan bagaimana media sangat berbahaya jika tidak ada "tekanan" publik seperti relawan-buzzer.
Ini sama juga dengan badan ad hoc, ada karena kebutuhan semata, lahir secara spontan bukan karena angin, namun  karena menyikapi keadaan yang di luar ekspektasi, di luar kendali, dan memang dugaan ada upaya merusak persepsi itu menguat.
Buzzer-relawan itu baik-baik saja, asal bukan menghimpun kekuatan untuk mengacau. Data separo, apalagi fitnah dan membutarbalikan fakta jelas tidak patut. Katanya mengaku beragama, bahkan sering menjadikan agama senggol bacok, tetapi fitnah, caci maki, memutarbalikan fakta seolah biasa saja. Menjadikan yang benar salah, yang salah benar.
Atas nama kritik namun menjelek-jelekan fisik orang. Menghakimi pihak lain, tanpa ia berbuat apa-apa. Lihat pada tayangan media sosial politik, apapun itu, akan dengan mudah ketemu akun datang dengan caci maki. Mereka tanpa karya sama sekali. Hanya untuk membuat status 160 karakter saja tidak mampu. Tetapi lagaknya melebihi ahlinya ahli. Apalagi jika bicara yang lebih sulit.
Mereka ini bisanya membagikan link atau status dari orang lain. Tanpa mereka tahu isi apalagi kebenarannya. Kata Prabowo dalam kampanye, bangsa ini masih sedikit bodoh, ini bukan karena kurang gizi, namun tabiat malah cek dan ricek. Mata doitan pula. Asal ada uang, mau benar atau salah, pokoknya ambil.
Siapa yang paling keras kini berteriak? Ya yang jadi korban gulungan bola salju dari buzzer-relawan itu. Parpol pencipta yang tidak menyangka terkena imbas mengerikan. Mereka yang memiliki gagasan, hanya karena gagal menjaga pada koridor tertib hukum, akhirnya tumbang.
Mereka pastinya paham, tetapi demi mendapatkan keuntungan cepat dan murah akhirnya terjerembab sendiri. Jika merasa pemerintah yang otoriter, ya silakan bawa ke MK pasal-pasal yang dikenakan.
Memilukan Dewan Pers, malah bertabiat seperti tukang ojek kesaing dengan ojek berbasis aplikasi. Menyalahkan buzzer-relawan, tanpa mau tahu perilaku anak buah mereka yang ngaco tidak karuan. Â Penegakan hukum, etis mereka sangat lemah. Minta maaf cukup. Sangat tidak mendidik, ketika ada relawan-buzzer bereaksi mereka marah.
Memang ada buzzer-relawan yang ngaco, tetapi jauh lebih ngaco media. Lihat saja perilaku Tempe dengan narasi yang ugal-ugalan, belum lagi covernya. Jangan mengatakan kebebasan pers, namun mereka sendiri juga antikritik. Sama juga dengan mau manisnya tetapi tidak mau mengupas tebu.
Perilaku kanak-kanak, khas tidak mau susah, tampil pada para elit Dewan Pers. Wajar jika tergulung oleh perkembangan zaman. Semua melangkah maju. Jangan salahkan kemajuan, ketika tidak siap dengan perubahan.
Konsekuensi logis ketika orang atau kelompok itu berperilaku, kemudian dijawab. Yang memberikan reaksi biasanya sudah mengamati, belajar, dan lebih waspada. Nah kalau kemudian jatuh, ya itu risiko, bukan malah menyalahkan yang bereaksi. Santai Dab, berani bermain, yo siap jatuh, bukan maunya menang wong tahu memang salah dan kalah. Sikap dewasa itu perlu dibangun.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI