Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Detik Norak Soal Nora, Harusnya Membuka Mata Depres

12 Februari 2021   08:13 Diperbarui: 12 Februari 2021   08:34 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Detik Norak Soal Nora, Membuka Mata Depres Harusnya

Miris, baru beberapa hari Hari Pers dirayakan. Eh malah lahir polemik demi polemik hanya karena sikap subyektif dari para pelaku utamanya. Miris jika berkaca dari itu, kemudian mendapatkan balasan yang tidak kalah sadisnya. Kini, eranya adalah membalas, karena ada kecenderungan mengalah dianggap kalah dan takut. Diam itu emas seolah menjadi basi.

Dua kisah faktual yang layak dicermati bersama, adalah sebagai berikut:

Pertama, entah keluhan, atau curhat, atau malah nada ketakutan dari Dewan Pers menyoal keberadaan buzzer. Entah yang dimaksud buzzer ini siapa, kog barengan dengan kata-kata elit PKS, yang mengatkan tertibkan buzzer. Istilah inipun sejatinya ngaco, ketika buzzer dimaknai sebagai penggaung kepentingan.

Tentu masih ingat bagaimana permainan 2014 PKS  dengan dugaan cyber army, saracen dan segala permainan medsos mereka. Taggar dengan mudah dinaikan di medsos. Apa lupa mereka dengan #2019 ganti presiden? eh ini  beda ding, wong bahas Depres, kog malah PKS. Hanya mau memberikan gambaran bahwa yang mau dibina yang mana?

Jika pemerintah atau istana menggunakan buzzer buktikan saja dan bubarkan. Setuju juga kog. Tetapi jangan lupakan, bagaimana media arus utama sekelas Tempo, Detik, CNN, apalagi media abal-abal yang setiap saat bersliweran dengan berita dan opini  yang cenderung ngaco.

Sangat mungkin Depres tidak tahu, atau malah tidak mau tahu dengan keadaan itu. Ujung-ujungnya juga meterai Rp.6.000.00, atau minta maaf karena khilaf, dan bulan berikut sudah mengulangi lagi.  Mengerikan melihat tayangan media, namun dinilai seolah baik-baik saja karena sepanggung dan sejurusan.

Perilaku Depres ini malah identik dengan kebiasaan bangsa ini, tidak siap dengan perubahan. Perlu diingatkan lagi, dulu pemakaian helm itu ada kawasan khusus, kejar-kejaran dengan polisi. Kini harga helm jutaan dan hilang di parkiran sudah biasa. Tanpa pengejaran lagi.

Menutup pintu bis pun demikian, demo, mogok, eh kini semua pintu tertutup karena sudah berpendingin ruangan. Terbaru jelas soal alat transportasi berbasis aplikasi. Bagaimana perseteruan, demo, mogok, dan kekerasan, kini toh biasa saja, melihat jaket hijau dulu dikejar-kejar, kini biasa saja.

Zaman itu berkembang, kalau ngotot dengan masa lalu ya jangan kaget akan tergilas. Visioner itu memang tidak banyak dimiliki orang, tetapi lebih banyak yang feodal itu pasti.

Kisah kedua mengenai pemberitaan Detik soal Nora.  Ini bukan fokus pembicaraan, yang pasti bahwa Detik telah mengakui melanggar hal privasi. Padahal pada Oktober 2020, media ini juga menuliskan soal percumbuan Nora dan Jerinx di mobil tahanan.  Karena mungkin Nora tidak tahu, tidak ada yang mempersoalkan, kini terulang.

Media gagap menghadapi perubahan zaman, akhirnya malah ngaco dan ngasal. Dua tulisan mengenai Nora-Jerinx itu tidak layak untuk konsumsi media arus utama. Berbeda ketika blog pribadi yang mengejar hits. Eh saya yang main blog juga enggan menuliskan hal demikian.

Hits dan klik seolah menjadi puncak segalanya. Abai soal etika dan  ranah dasar pemberitaan. Jangan kaget para Kompasianer, ketika mengetikkan namanya di Google akan berderet nama diri dengan tulisan sudah ada di media mana-mana. Wong saya yang bukan siapa-siapa saja sudah dicopas sekelas Tribun. (Contoh)

Pasti Depres tidak akan tahu hal begini ini. Paling mendasar saja pekerja media itu mendapatkan bayaran untuk mendapatkan berita, artikel, atau apapun yang bisa disajikan pada media mereka. Lha kalau hanya ngulik media lain kemudian copas, ya untuk apa? mereka dapat honor, gaji, mungkin bonus hanya untuk copas. Lha tukang warnet pun bisa. Penulis aslinya, yang riset, baca sana-sini, hati-hati biar tidak dipancung admin, eh mereka yang dapatkan uangnya. Ingat ini bukan soal uang, tetapi termasuk plagiasi, apalagi tidak ada izin sama sekali.

Lucu lagi, ketika mereka pun berlomba-lomba mengutip dan mengulik yang tampaknya dilabeli buzzer seperti Abu Janda, Eko Kuntadi, atau Deny Siregar. Artis medsos  yang mereka tuding buzzer dan isi media sosialnya dicopas dengan tambahan komentar dari para warganet yang ada di sana.

Coba jika Depres itu bekerja bukan hanya menerima laporan, betapa banyak hal-hal ngaco  dan mereka ini ada dalam ranah tanggung jawab mereka. Jangan kemudian karena tidak mampu mengatasi malah menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam. Lucu saja sih.

Apalagi jika bicara klik bait, jangan tanya lagi, judul apa, isi apa. Hoax, fitnah, itu merajalela, media itu bagian mereka, kalau SJW memang di luar tanggung jawad Dewan Pers, tetapi kalau SJW itu pernyataannya dikutip media, Depres harusnya turun tangan.

Jangan kaget, hari-hari ke depan, akan semakin banyak didengungkan keberadaan dewan pers dan juga para pelakunya yang cenderung partisan. Miris jika demikian pers kita yang mengaku pilar demokrasi.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun