Jokowi: Silakan Kritik dengan Keras, PKS: Tertibkan Buzzer
Pernyataan presiden mengenai kritikan dari rakyat harus dilakukan, langsung direaksi oleh PKS denga pernyataan tertibkan buzzer. Hal yang sangat biasa ala PKS. Lebih menarik adalah rangkaian dari pernyataan Kwik Kian Gie sebelumnya yang mengatakan jauh lebih menakutkan zaman ini dari pada zaman Orba dan Soeharto.
Hanya sebuah lelucon saja sih pernyataan Kwik Kian Gie ataupun Said Didu, Emha Ainun Najib, atau Sudjiwo Tedjo. Â Ke mana muaranya jelas kog, kebiasaan yang sangat mudah ditebak, jadi tidak perlu menjadi perhatian lebih. Â Sudah biasa dan arahnya gambang diprediksikan. Hanya soal barisan sakit hati.
PKS
Cukup unik sih pergerakan mereka di dalam berbangsa ini. Toh UU  telah mengatur dan mereka masih layak terus demikian. Entah  suatu saat nanti. Tidak heran ketika lahir pameo apapun yang ditolak atau dinyatakan jelek oleh PKS berarti itu baik dan tepat. Hal yang sebenarnya olok-olok namun kog ya pas dana tepat.
Upaya mereka paling masif dalam banyak hal, tetapi ujungnya ya hanya begitu saja. Gede bicara tanpa hasil. Lihat gantipresiden, bertahun-tahun taggar ini mereka bangun, hasilnya tetap saja nama-nama yang mereka bawa, sembilan nama satupun tidak ada yang melirik. Survey pun tidak memberikan hasil yang cukup bagi mereka.
Buzzer
Tudingan buzzer ini sudah lama terjadi dan pelakunya adalah itu-itu saja. Aneh dan lucu, para pelaku yang mereka tuduh buzzer ini adalah pembela Jokowi dan pemerintahan yang selalu saja mereka ganggu. PKS ini alat yang mungkin mereka tidak sadari. Masa lalu yang sakit hati, kepentingannya terganggu, dan terusik kekayaannya memang membuat gaduh. Menyasar Jokowi bahkan keluarga, nah maka timbulah militansi para pendukung garis keras Jokowi ini.
Pemain media sosial itu dulu ya PKS dengan segala trik dan intriknya memang menguasai panggung itu. Saracen dan apapun kelompoknya memang memainkan narasi dan pengubahan persepsi dari sana. Ketika panggung itu ada penyeimbang, dan malah kelompok mereka itu tergulung, tudingan buzzer itu mencuat. Hal yang sejatinya hanyalah karena permainan mereka terenggut.
Suka atau tidak, rela atau tidak, media arus utama pun sudah cenderung menjadi partisan. Penyokong kepentingan politik. Sederhana saja lihat, bagaimana pemberitaan, opini, atau tanggapan mereka itu. Baik dari segi pembuatan judul, kover, siapa-siapa yang menjadi narasumber dan rujukan.
Jangan naif atau malah menutup mata dari fakta ini. Â Apakah berlebihan ketika ada tudingan media sudah terbeli? Artinya apa? Ya bisa dimaknai sendiri.
Entah seharin kemarin ada kecenderungan opini, narasi media sosial, dan juga pembicaraan seolah Jokowi itu antikritik, pelontar kritik dibui dan model-model itu, itu tafsir dan asumsi subyektif saya. Boleh dong. Nah apakah pernah Jokowi itu ke kantor polisi melaporkan penghinaan dungu, plonga-plongo, atau malah PKI dengan tuntutan DNA? Itu bukan orang biasa, pimpinan dewan dan majelis biasa banget menghina, memaki, coba jika seperti orba konon Pak Kwik lebih baik, tinggal nama mungkin orang-orang itu.
Ke mana Marsinah, ke mana Udin, dan juga yang menjadi korban Trisakti. Mosok Kwik, Sudjiwo, atau usaid Didu lupa sih? Mereka siapa, hanya buruh pabrik, wartawan, dan mahasiswa, bayangkan dengan mantan pejabat tinggi negara, pejabat negara pula. Para pejabat ini kudune malu dengan babi.
Kritik Itu Bukan Asal Beda
Selama ini yang terjadi, termasuk parpol dan fraksi di dewan bukan kritik namun asal berbeda dengan pemerintah. Ujungnya mengganti pemerintahan, bukan demi kebaikan bersama bangsa ini. oposan itu juga bermartabat, baik, dan bahkan bagus bagi hidup demokrasi. Mengapa? Agar ada penyeimbang, ada yang menyentil jika eksekutif menyimpang.
Lha anehnya ketika pemerintah baik-baik saja malah dihajar. Yang mendasar seperti korupsi, terorisme, dan radikalis malah dipuja-puji. Kan koplak. Miris menghajar yang bekerja dan mendiamkan yang tidak melakukan apa-apa.
Bangsa ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik, nah itu yang perlu dibenahi, bukan malah mematahkan yang sedang diperbaiki dan diupayakan lebih baik.
Ribetnya adalah, pembenahan itu justru menyasar kepentingan, kebiasaan, dan kemudahan yang selama ini dinikmati para elit negeri. Ini lho persoalan, ketika negara mau menjadi milik seluruh rakyat, eh malah yang mau mengusahakan hal lebih baik itu dihajar.
Permainan sangat halus dari para eliit memang susah dikendalikan dan disadari, kadang orang sampai bingung karena mereka jelas tidak kelihatan permainannya. Paling-paling setelah sadar, oh ini maksudnya. Hal yang memilukan, karena kadang dibungkus dengan agama, suku, dan hal-hal yang memang masih sensitif di  negeri ini.
Payahnya lagi, lembaga-lembaga independen, memberikan wajah yang berwarna tertentu. Mereka tidak malu-malu menyangkal apa yang di depan mata mereka lakukan itu salah. Ketika ketahuan ngeles dengan berbagai alasan, alibi, dan ujung-ujungnya minta maaf.
Memang suasana, alam pikir, dan keadaan ini harus dijalani. Tidak lelah-lelah untuk maju dalam keberadaban, bukan kebiadaban. Beragama sebagai jalan spiritual bukan mencari uang. Melakukan segala hal sesuai kapasitas.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H