Menanti SBY
AHY melakukan polemik yang menyambar ke mana-mana. Bak api yang kena tumpahan avtur dan merembet ke segala arah. Pejabat tinggi, mantan pejabat, mau intern atau pihak luar Demokrat sama-sama terkena dampaknya. Mulai mantan ketua DPR yang meradang hingga Menkopolhukam yang tetap adem sebagaimana biasanya.
Marzuki Ali sampai mengatakan mau membuka semua hal yang memalukan mengenai AHY karena menyentilnya. Hingga membuka pernyataan SBY yang antipolitik dinasti merespons keadaan ketika Ratu Atut terkena skandal besar-besaran. Nah lho, dua kali masa lalu SBY dikorek bukan? Lebih dulu masalah penyerbuan kantor PDI yang mengkudeta Megawati. Menguak tabir masa lalu yang sudah tidak lagi relevan sebenarnya.
Elit Demokrat, kini menyoal mengapa Jokowi diam saja. Ya jelas diam lah, tidak ada tanggung jawab moral untuk menyikapinya. Ini persoalan internal yang kebetulan saja, sangat mungkin ada orang yang dekat dengan presiden. Tidak ada salahnya juga jika Moeldoko berpolitik demikian. Salahnya di mana coba?
KLB tidak ada yang salah, mekanisme partai memberikan peluang. AHY sendiri hasil KLB bukan konggres yang biasa. Kan sangat mungkin tanggapi saja, silakan gelar KLB dan siapa yang mau bertarung bukan kesempatan dan kemudian mengadu gagasan dan meyakinkan pemilik suara untuk memilih. Â Itu namanya demokrat, demokratis jiwanya, dan asli produk demokrasi yang hakiki.
Menkopolhukam sudah disentil dan menjawab dengan santai. Tidak ada kepentingan dengan partai politik mercy tersebut. Pemerintah sudah terwakili, presiden juga tidak memiliki kepentingan. Untuk apa coba? Kan selama ini Demokrat juga oposan, suara tidak cukup signifikan pula. pengaruhnya antara ada dan tidak itu tidak berdampak. Â
Jika Moeldoko selaku kepala staf kantor apa salahnya juga. Itu sangat mungkin kepentingan pribadi, ya selesaikan sendiri, tidak perlu presiden. presiden tidak cukup beralasan mau mengkudeta Demokrat. Riuh rendah di dalam yang dibawa keluar ini lebih kuat dari pada pihak luar yang mau mengambil alih.
Konon ada empat faksi dan masing-masing sudah menyatakan diri untuk tidak mau peduli. Salah satunya kelompok Anas Urbaningrum dan loyalisnya. Mereka sangat mungkin berdiri sendiri dari pada ribut bersama dengan penguasa Demokrat. Â Perpindahan tahanan Anas ke Bandung usai ketetapan hukumnya tetap, usai PK ditolak, jelas mengurangi energi mereka untuk ribut.
Marzuki Ali sudah melapor kepada SBY mengenai tudingan keterlibatan kudeta yang dilontarkan oleh Syarif Hasan. Hal yang sama juga Max Sopacua, yang merasa tersinggung dan marah dituding demikian. AHY dan badan komunikasi dan  strategi Demokrat sekaligus jubir resmi langsung meminta maaf.  Jika demikian, masalah justru ada pada Syarief Hasan, kog Jokowi.
AHY ternyata masih cukup gagap melihat, menilai, menimbang, dan menyaring informasi. Ada  hal-hal yang tidak terlihat namun itu kadang lebih berbahaya. Dalam konpresnya ia mengataakan mendapatkan info, ternyata intelijennya masih kalah canggih. Bisa dibandingkan, bagaimana kendali kemampuan intelijen partai dan negara, siapa lebih sigap, terlatih, dan bisa dipercaya hasilnya.
Dua pihak paling tidak sudah menyoal Syrief Hasan, penyebutan nama yang oleh AHY tidak dilakukan itu berbahaya. Cukup bijak AHY dalam siaran persnya mengatakan pihak-pihak tertentu, tanpa nama, eh malah ada kadernya yang menyebutkan nama, ini sangat tidak elok. Boleh dong orang membacannya Syarief sedang memperolok pihak yang tidak dipakai AHY.
Jika didiamkan, sangat merugikan AHY dan Demokrat secara umum. SBY harus turun tangan sendiri. Mengapa SBY?
AHy sedang babak belur, emosional tidak terkendali pastinya menyaksikan apa yang terjadi atas ulahnya selama ini. Pasti tidak akan menyangka malah berbalik menyerang ke dalam Demokrat sendiri. Benar pernyataan Ferdinand Hutahaean bahwa ini bisa terjadi kudeta beneran, awalnya hanya istilah namun kemudian menjadi ide, gagasan, dan menimbulkan keberanian.
Hati-hati ketika SBY bersikap, jangan sampai malah dengan bahasa yang sudah biasa terjadi, menyasar pihak lain, tanpa data dan fakta yang cukup kuat. Malah bisa menjadi masalah dan blunder lebih parah.
Kekeliruan Syarief Hasan sudah jelas, kemudian ditambah malah menekan pemerintah, Jokowi untuk menanggapi surat itu. Tidak cukup membantu AHY namun  malah menambah dalam terjerumusnya AHY pada kubangan.
SBY perlu bijaksana dalam bersikap, jangan sampai malah semakin terbaca AHY dalam kendali SBY dan hanya menjadi boneka. Kasihan AHY jika demikian, membantu dengan cara yang sangat elegan. Pasti SBY dan timnya memiliki trik jitu, asal jangan gegabah, apalagi malah tantrum seperti biasanya.
Paling tepat sebenarnya mengadakan KLB dengan peserta siapa saja yang memang memiliki dukungan suara sebagaimana AD ART. Ini sekaligus legitimasi bagi kepemimpinan AHY jika bisa memenangi pemilihan. Memang sangat beresiko bahwa bisa kalah.
Seorang demokrat sejati SBY sebagaimana kata Marzuki Ali, anti politik dinasti, sebenarnya tidak perlu bimbang dan takut AHY kalah, kalau memang merasa AHY layak dan mampu. Ajang pembuktian dalam banyak hal.
Susah melihat SBY berani bertindak demikian. Namun ini adalah  satu-satunya cara yang paling memuaskan banyak pihak. Ingat slogan kawan 1000 kurang, jangan sampai malah 1000 lawan yang datang. Lakukan dengan segera, toh terdepak dari partai hal yang lumrah. Mudah juga membuat yang baru, tidak perlu risau sebenarnya.
Jika berani demikian, jauh lebih terhormat dan mendapatkan respek yang luar biasa dari berbagai pihak, termasuk yang berseteru. AHY mendapatkan legitimasi yang sangat kuat dan besar. Kalau pun kalah masih bisa menghimpun kekuatan dan membentuk partai lain yang sangat mungkin juga bisa berkembang, dan tanpa ada duri dalam daging.
Terima Kasih dan Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H