Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasdem Meninggalkan Anies Baswedan

6 Februari 2021   21:48 Diperbarui: 6 Februari 2021   22:04 1883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasdem Balik Dukung Pilkada 24 dan Implikasi bagi Anies Baswedan

Tiba-tiba Surya Paloh memerintahkan fraksi Partai Nasdem untuk menolak Revisi UU Pemilu, salah satunya mengenai pemilihan kepala daerah serentak maju pada 22 yang dijadwalkan pada 24. Padahal dulu, Nasdem paling getol mengajak pemindahan pilkada serentak pada tahun 22, di mana habis masa kerja.

Melihat rekam jejak mereka yang sejak usai pilres lebih mendekat pada Anies dan berjarak pada Jokowi, publik memiliki alasan jika ada sesuatu dengan kedekatan itu dan juga renggangnya dengan sang presiden. Pembelaan dalam banyak isu, kemudian malah berpelukan, memberikan banyak jawaban dan spekulasi apa maunya.

Pernah pula secara terus terang memuji Anies dan mengritik Jokowi. Mengatasi banjir awal 2020 tahun lalu, dewan Nasdem DKI memuja-muji Anies dan mengatakan Jokowi saja gagal. Pengulangan hal yang sama dalam konteks yang berbeda. Termasuk dalam kongres Nasdem.

Simpulan paling sederhana jelas, bahwa Nasdem akan menjadikan Anies sebagai salah satu calon atau kandidat usungan mereka, tentu saja presiden, bukan hanya wapres. Itu semua tentu perlu banyak faktor, bukan hanya kemauan saja. Terutama mengenai UU Pemilu, yang mengagendakan pemilihan serentak 24.

Padahal masa kerja Anies berhenti pada 22. Selang dua tahun itu banyak hal yang sangat mungkin bisa terjadi. Bagaimana menjaga momentum, terutama ketenaran, naik panggung, menjadi sorotan media, dan tetap menjadi pembicaraan publik. Hal yang tentu saja Nasdem, Anies, dan timnya pahami itu sangat berat.

Jabatan publik, politis, dan prestis jelas, itu panggung yang tidak bisa disangkal lagi. Setiap saat bisa masuk media, tanpa bayar lagi. Ini bukan pelanggaran, konsekuensi atas jabatannya. Tidak ada yang bisa melarang ataupun menjadikannya bahan untuk menjegal. Sah demi apapun. Soal cara mendapatkan kemenangan itu cara lain.

Menjaga diri untuk tetap masuk dalam radar pemilih itu sangat susah. Lihat saja bagaimana Harry tanu dan Wiranto pada menjelang pilpres 2014 lampau. Aneka cara mereka lakukan dengan tampil setiap saat di media jaringan milik Harry Tanu, toh tidak cukup signifikan bagi suara mereka berdua untuk sekadar menjadi kandidat.

Pun Gerindra mengucapkan selamat hari  apa saja melalui lagi-lagi televisi. Sama juga tidak membantu banyak capaian Prabowo dan Gerindra. Suara mereka memang cukup signifikan dibandingkan Harry Tanu dan Wiranto.

Nasdem dan Surya paloh juga setiap saat tampil melalui MetroTV, toh suaranya tidak beranjak banyak dan cukup untuk bisa berbicara banyak. Kurang apa coba corong media elektronik yang telah menggaungkan mereka.

Pada akhirnya tidak cukup memberikan suara yang diperlukan. Mereka memiliki jaringan sendiri, artinya masih bisa dibicarakan soal harga. Lha ini Anies, jika Nasdem yang mau menggeber dengan jaringan Metro dan Media Indonesia, dua tahun lagi, tentu sangat berat. Berbeda jika ia masih menjadi gubernur. Dana pemerintah, sah pula digunakan karena jabatan yang melekat.

Dua tahun tanpa panggung, jelas membutuhkan dana yang luar biasa besar untuk mengontrol dan malah kadang juga mengatrol nama untuk tetap eksis. Ingat, massa bangsa ini mudah banget melambungkan nama tetapi juga mudah banget lupa. Bisa celaka dua tahun tanpa adanya panggung yang cukup relevan untuk bisa berbuat banyak.

Simalakama Anies. Kelemahan paling fatal yang tidak pernah bisa menjadi kekuatan. Ia bukan orang partai politik. Tanpa akan merasa bersalah parpol akan mencari figur lain, termasuk Nasdem. Jangan kaget, pola pendekatan parpol bangsa ini masih berpusat pokok menang, modal kecil, hasil gede. Ala-ala makelar, bukan model negarawan sejati.

Salah satu andalannya selama ini adalah pokoknya dibicarakan, entah positif atau negatif, pokok ada panggung. Terbaru, penghargaan pahlawan transportasi. Entah dari mana, apakah itu relevan. Layak atau tidak, terbukti atau tidak, bukan menjadi pertimbangan bagi Anies. Sama juga dengan pernyataannya puku dua dini hari Jakarta tidak macet.

Apakah ini layak dinyatakan oleh Gubernur Jakarta, akademisi pula? Itu tidak penting. Kebenaran substantif itu bukan menjadi pertimbangan bagi Anies dan tim di sekelilingnya. Yang penting menjadi bahan pembicaraan. Selalu dijadikan meme dan perhatian publik.

Sama juga dengan model perlawanan kepada Jokowi dan pemerintah pusat. Bagaimana ia akan dapat berlaku demikian jika di luar jabatannya. Apakah ia yang akan jadi pejabat sementara? Ah susahlah. Dengan rekam jejaknya selama ini, tidak akan mungkin demikian.

Balik badannya Nasdem membuat Anies habis harapan. Hanya tergantung pada relasi, jaringan, dan pihak yang masih memiliki dana tidak terbatas untuk membeayainya menjadi artis politik. Ada dua atau tiga kekuatan dengan finalsial tidak berseri, Cendana. Ini sangat mungkin, mereka tidak memiliki calon yang berkompeten dan juga layak jual. Soal dana mereka jelas tidak akan kesulitan. Sangat mungkin merapat untuk saling menguntungkan.

Cikeas. Mereka sempat memiliki relasi yang erat. Namun  mereka juga punya calon yang digadang-gadang sama gedenya untuk capres. Bisa saja sih, hanya saja keuangan mereka tidak sekuat Cendana, dan akan cenderung membesarkan AHY. Ini perlu modal yang gede juga. Lebih susah juga melihat jangan sampai ada matahari kembar ala Anas Urbaningrum lalu.

Mereka sudah cukup berpengalaman dengan adanya "pesaing" kuat untuk putra mahkota sendiri. Kemunginan minim. Dana juga cenderung tidak mau untuk membeayai pihak lain.

JK. Ini sangat mungkin, mereka bersama maju dalam pilpres. Tinggal mencari, bisa juga mengkudeta partai. Dana cukup, kerja sama sudah ada. Kehilangan FPI memang menyusahkan, tetapi bukan tidak mungkin. Jauh lebih realistis dengan reputasi mereka berdua. Sudah cukup tenar, tinggal poles sedikit mereka masih bisa menjadi kuda hitam.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun