Nasdem Balik Dukung Pilkada 24 dan Implikasi bagi Anies Baswedan
Tiba-tiba Surya Paloh memerintahkan fraksi Partai Nasdem untuk menolak Revisi UU Pemilu, salah satunya mengenai pemilihan kepala daerah serentak maju pada 22 yang dijadwalkan pada 24. Padahal dulu, Nasdem paling getol mengajak pemindahan pilkada serentak pada tahun 22, di mana habis masa kerja.
Melihat rekam jejak mereka yang sejak usai pilres lebih mendekat pada Anies dan berjarak pada Jokowi, publik memiliki alasan jika ada sesuatu dengan kedekatan itu dan juga renggangnya dengan sang presiden. Pembelaan dalam banyak isu, kemudian malah berpelukan, memberikan banyak jawaban dan spekulasi apa maunya.
Pernah pula secara terus terang memuji Anies dan mengritik Jokowi. Mengatasi banjir awal 2020 tahun lalu, dewan Nasdem DKI memuja-muji Anies dan mengatakan Jokowi saja gagal. Pengulangan hal yang sama dalam konteks yang berbeda. Termasuk dalam kongres Nasdem.
Simpulan paling sederhana jelas, bahwa Nasdem akan menjadikan Anies sebagai salah satu calon atau kandidat usungan mereka, tentu saja presiden, bukan hanya wapres. Itu semua tentu perlu banyak faktor, bukan hanya kemauan saja. Terutama mengenai UU Pemilu, yang mengagendakan pemilihan serentak 24.
Padahal masa kerja Anies berhenti pada 22. Selang dua tahun itu banyak hal yang sangat mungkin bisa terjadi. Bagaimana menjaga momentum, terutama ketenaran, naik panggung, menjadi sorotan media, dan tetap menjadi pembicaraan publik. Hal yang tentu saja Nasdem, Anies, dan timnya pahami itu sangat berat.
Jabatan publik, politis, dan prestis jelas, itu panggung yang tidak bisa disangkal lagi. Setiap saat bisa masuk media, tanpa bayar lagi. Ini bukan pelanggaran, konsekuensi atas jabatannya. Tidak ada yang bisa melarang ataupun menjadikannya bahan untuk menjegal. Sah demi apapun. Soal cara mendapatkan kemenangan itu cara lain.
Menjaga diri untuk tetap masuk dalam radar pemilih itu sangat susah. Lihat saja bagaimana Harry tanu dan Wiranto pada menjelang pilpres 2014 lampau. Aneka cara mereka lakukan dengan tampil setiap saat di media jaringan milik Harry Tanu, toh tidak cukup signifikan bagi suara mereka berdua untuk sekadar menjadi kandidat.
Pun Gerindra mengucapkan selamat hari  apa saja melalui lagi-lagi televisi. Sama juga tidak membantu banyak capaian Prabowo dan Gerindra. Suara mereka memang cukup signifikan dibandingkan Harry Tanu dan Wiranto.
Nasdem dan Surya paloh juga setiap saat tampil melalui MetroTV, toh suaranya tidak beranjak banyak dan cukup untuk bisa berbicara banyak. Kurang apa coba corong media elektronik yang telah menggaungkan mereka.
Pada akhirnya tidak cukup memberikan suara yang diperlukan. Mereka memiliki jaringan sendiri, artinya masih bisa dibicarakan soal harga. Lha ini Anies, jika Nasdem yang mau menggeber dengan jaringan Metro dan Media Indonesia, dua tahun lagi, tentu sangat berat. Berbeda jika ia masih menjadi gubernur. Dana pemerintah, sah pula digunakan karena jabatan yang melekat.