Cukup menarik apa yang ditampilkan dua kubu pemain politik ini, di mana AHY dengan segala manufernya, dan diombyongi para kadernya dengan riuh rendah, pada satu sisi. Jokowi dengan diamnya pada kubu yang lain. Keduanya memainkan seni dan bermain politik yang sama. Masing-masing juga memiliki pendukung dan pemandu sorak yang tidak kalah riuh rendahnya.
Perlu diingat kembali, bagaimana kedua pihak ini seolah saling beradu taktik yang tidak pernah menemukan titik temu. Keduanya selalu memainkan peran yang bertolak-belakang, malah cenderung seperti kedua sisi rel, yang terus ada, bersisian, namun tidak ketemu. Beberapa kisah yang perlu disegarkan sebagai ingatan bersama.
Pertama, Pak Beye melakukan safari dan tur Jawa, konon mau menyerap aspirasi warga. Lebih tepat menyerap aspirasi kader dan anggota, kan beliau elit partai bukan pemerintah. Toh bebas saja. Cukup unik, sambil jalan dan datang ke kota-kota, beliau sambil melontarkan kritikan, ini salah, tidak seharusnya demikian, coba seperti ini, bagus yang ini.
Presiden Jokowi diam saja. Seolah tidak mendengarkan dan memperhatikan apa yang dilontarkan berkali ulang itu. sempat terlontar masing banyak yang menghendai Pak Beye untuk menjadi presiden lagi. Pak Jokowi, jalan-jalan, benar-benar hanya jalan, diam saja, dan beredarlah photo  sedang sidak di Hambalang. Apa yang terjadi? Pak SBY pulang Cikeas dan tidak lanjut tour de Java yang baru sepao jalan.
Kedua, Lebaran kuda, panasnya menjelang pilkada DKI. Pak SBY mengadakan konferensi pers, pemimpin tidak boleh antikritik, sampai lebaran kuda akan selalu datang kritikan dan demo. Pak Jokowi juga diam saja, dan malah naik kuda bersama dengan Prabowo.
Bahasa-bahasa simbolis yang langsung menetak sangat telak dan Pak Beye, maaf terdiam seribu bahasa. Tidak lagi bisa berbuat lebih banyak.
Ketiga, ini bersama AHY bukan Pak SBY. Ketika safari usai kalah pilkada. Sowan kepada Presiden Jokowi dan melaporkan berdirinya Yudhoyono Institute. Ada dua hal yang pak Jokowi lakukan dengan baik, meminta Gibran menemui, bahasa Gibran adalah ia yang ingin bertemu. Sangat tidak mungkin, waktu itu Gibran belum main politik, malah kini sudah menyalib AHY. Jamuan bubur atau jenang lemu, makanan yang bisa dimaknai sebagai makanan anak bukan orang dewasa. Makan pengganti, bukan makanan utama.
Kapasitasnya masih anak-anak, bukan sudah matang dan masuk pada jajaran elit negeri ini. masih perlu banyak belajar, belum saatnya makan nasi, masih bubur. Jelas terbaca apa yang terjadi.
Keempat. Kala Demokrat meradang soal tudingan di balik aksi ramai-ramai terlibat dalam demo di tengah pandemi. Padahal tidak ada yang menyatakan secara langsung, waktu itu ada Airlangga, ada pula pejabat lain mengatakan, kami tahu siapa di balik itu. Ingat hanya  kata-kata kami tahu, namun Demokrat meradang, menuntut penyebutan nama.
Presiden Jokowi mengunjungi Kalimantan dan menyaksikan bebek. Artinya kan jelas, bebek itu banyak berkotek kalau di luar, pas di kandang, didatangi diam seribu bahasa. Identik dengan perilaku elit yang teriak-teriak itu, padahal tidak ada yang menyebut dengan lugas Demokrat di balik itu semua. Pernyataan-pernyataannya memang mengaformasi, toh bukan itu yang disebut-sebut para pemangku pemerintahan.
Kelima. Kudeta. Presiden Jokowi tidak perlu ikut-ikutan berpolemik. Pemaksaan untuk bersikap juga tidak penting. Lebih lucu lagi ketika salah satu elit mereka merujuk kisah PDI, lha malah mau mempermalukan sesepuhnya sendiri.