Post FPI
Sebulan persis FPI menjadi organisasi massa terlarang. Dampak sangat besar dan mendasar bisa terjadi. Begitu cepatnya hal-hal yang dulu seolah hanya berputar-putar bak gasing, kini selesai. Buah kesabaran dan kesaktian waktu itu memang tidak akan ada yang bisa menyangkal. Bertaahun-tahun banyak warga negara yang hanya bisa merutuki dalam hati atau media sosial dengan bahasa yang kadang perlu hati-hati.
Bagaimana tidak, ketika rumah Ibunda Menko saja didatangi dengan teriakan, bagaimana dengan warga negara biasa. Belum lagi ketika aksi-aksi yang menutup jalan, menghambat aktivitas warga, bandara saja bisa tutup, hanya karena FPI sedang menyambut pimpinannya. Itu sekelumit betapa "gagahnya" FPI di depan hukum.
Siapa yang berbeda seolah bagi mereka adalah musuh. Ini bukan soal agama, namun perilaku arogan dengan menggunakan atribut dan label agama. Hal yang memang murah meriah. Di mana habitat subur bagi sebagian penduduk yang masih begitu kukuh melihat agama adalah membuta. Tanpa mau kritis melihat perilaku elit yang menggunakan label agama. Semua sudah mendekati usai.
Sebulan  usai puluhan purnama menunggu dengan ketidak pastian. Kini, semua menjadi berbeda. Bhineka Tunggal Ika itu akan kembali menjadi cara hidup beragama. Beberapa indikasi dan harapan baik.
Pencabutan Segel Pembangunan Gereja
Langsung, tanpa lama, segel pembangunan gedung gereja dicabut. Kita bisa membandingkan, beberapa bulan lalu, polemik yang sama terjadi. semua mengambang dan tidak ada tindak lanjut. Masih sama saja. Â Kala itu, harapan besar, karena Menagnya seoorang jenderal yang tentu saja banyak dipercaya akan mampu mengatasi hal itu. Ternyata sama saja. Kini harapan itu makin nyata.
Menag mengeluarkan surat edaran untuk mendata mana-mana gedung gereja yang belum mendapatkan izin dan izinnya bermasalah. Ada inisiatif dari atas, birokrasi untuk menjadi fasilitator, padahal selama ini sama sekali tidak ada.
Gagasan menjadikan Borobudur tempat ibadah kelas dunia ini juga pikiran besar. Hal yang sejatinya bisa terlaksana. Ini hal yang membantu banyak hal, devisa, kalau mau bicara uang. Mekah memiliki Ka'bah yang mendunia, mengapa Borobudur tidak? Pikiran Menag yang besar.
Kapolri Nonmuslim
Dikotomis agamis sebenarnya paling malas membahas. Namun demi membangun data dari artikel, ini juga masuk dalam salah satu point itu. bisa membayangkan tidak, jika Jenderal Listyo itu menjadi calon Kapolri setahun lalu? Oktober lah. Bisa dibayangkan bukan. Penolakannya di Banten kala itu, atau Jatim saat Kapoldanya Kristiani.Â
Hal itu kini tidak lagi berlaku. Semua warga negara berhak menjadi apa saja, bukan soal agamanya, namun kapasitas dan kemampuannya di bidang yang memang cakap. Nada sumbang juga masa lalu dari FPI. Narasi ngaco Novel Bamukmin menyatakan, kalau mau dicintai umat Islam harus membebaskan Rizieq. Hal yang bertolak belakang dengan penerimaan NU.
Bayangkan jika Oktober presiden mengirim surat ke DPR dengan nama Komjend Listyo. Apa yang terjadi? Toh itu tidak penting. Hanya sebagai pembanding, ketika kondisi berbeda ada pernyataan Novel Bamukmin begitu. Posisi kuat, hampir bisa dipastikan demo, menduduki gedung DPR atau istana.
Siswi di Padang Menolak Jilbab
Menteri Pendidikan Nadeim Makarim menyatakan, copot pejabat yang memaksa siswa nonmuslim berjilbab. Langsung tegas dan lugas, padahal ini juga sudah terjadi dan tidak pernah melakukan hal yang demikian.  Lagi-lagi ini karena  kondisi yang berbeda.
Apa  yang akan terjadi jika kondisi berbeda. Ini kan sudah berkali ulang, sikap setegas ini belum pernah terjadi. kembali lagi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika akan menjadi ciri hidup berbangsa
Di Depok tiba-tiba heboh pasar khusus, kampung Turki yang mengadakan perdagangan dengan tanpa uang rupiah, namun menggunakan dinar dan dirham. Sudah bertahun lalu. Mengapa kini kembali ramai? Kepolisian dan kejaksaan juga turun. Apakah selama ini mereka tidak tahu? Jelas tahu, hanya kondisi yang lainlah yang membuat mereka kini proaktif.
Semua bergerak, semua bersikap, dan lembaga-lembaga yang terkait menyikapi dengan satu suara. Rupiah menjadi alat pembayaran  satu-satunya, apalagi sekelas pasar. Hal yang seharusnya demikian, sejak dulu-dulu dalam menyikapi keadaan yang berlandaskan selain Pancasila.
Pendirian Kantor Pengurus NU di Petamburan
Hal luar biasa. Bagaimana bisa demikian, jika mereka masih eksis atau berkuasa. Hampir bisa dipastikan mereka akan ribut dan geger. Padahal jika asli agama, tidak akan mungkin demikian.Lagi dan lagi semua sudah berubah. Kembali kepada jati diri bangsa.
Harapan itu makin jelas, bahwa Pancasila akan menjadi satu-satunya ideologi bangsa. Tidak ada yang salah dengan agama pun Pancasila. Â Jangan kemudian menjadikan sila-sila Pancasila seturut tafsir masing-masing yang ngasal dan ngaco.
Memang, membersihkan otak dari pengaruh ideologis yang sekian lama terjadi tidak semudah membalik telapak tangan. Â Sejatinya kisah-kisah di atas tidak satu-satunya FPI yang menjadi pemicu. Namun mereka ini adalah "pemaksa" yang paling kreatif untuk menjadikan pihak lain keder. HTI yang banyak memiliki agenda yang terselubung dalam banyak aneka lembaga negara.
FPI sebagai pemaksa dan penekan di lapangan memang membuat semua pihak menjadi jerih. Seolah semua yang berseberangan dengan mereka adalah musuh. Label antiagama, antiulama adalah jargon yang diulang-ulang dan menjadikan elit ketakutan.
Masih perlu waktu untuk melihat keadaan kembali seperti semula. Pasti akan ada penolakan demi penolakan, hal yang wajar. Orang sakit saja perlu proses untuk sembuh. Usai minum obat atau opersi nanti akan membutuhkan waktu pemulihan. Semua sedang dijalani.
Kesaktian waktu tidak ada yang bisa membantah. Â Kesabaran mengurai akar masalah dan membekukan FPI adalah jalan panjang yang membuahkan hasil.
sinonews.com
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H