Biar dikomentari Kner Prof. Felix Tani, ikutan menulis yang beginian. He..he..luyaman lama memiliki cerita dan konsep ini, hanya menemukan formulanya tadi pas menguras aquarium. Langsung ketik usai kolam bersih. Kecenderungan relasi itu, apalagi usai dewasa, terutama yang lawan jenis hanya berfikir mengenai pendekatan dan muaranya pada pernikahan. Apakah demikian semuanya?
Memilukan, ketika ada pesan baik media sosial atau media percakapan mengatakan, Mas, aku mau pisahan....Mas, aku sudah tidak bisa bertahan lagi, atau Mas, pernikahan Katolikku tidak bisa lagi dipertahankan....aku sudah bercerai di pengadilan negeri, soal Gereja nanti kalau sempat. Langsung terbayang mereka ini dulu memilih sendiri tentunya, mengucapkan janji nikah dengan suka cita dan pasti cinta yang membara.
Usai beberapa tahun mengapa menguap? Apakah ada yang berubah dari hati dan cintanya? Beberapa hal laik dilihat sebagai bahan permenungan,
Peran lambene uwong, kata orang memang sering membentuk persepsi dan akhirnya simpulannya pun tidak seindah yang seharusnya. Karena hanya ikuti kata orang, takut label jomlo, takut label perawan tua, ngeri disebut jejaka tua, akhirnya nabrak-nabrak akhirnya nikah. Syukur kalau mendapatkan yang pas dan baik-baik saja, kalau salah pilih dan kemudian pisah?
Kadang orang bisa mendorong, namun ketika ada masalah mereka mau membantu? Omong kosong, kalau mereka mengatakan, pasti akan ada jalan. Ya iya, namun bukan atas bantuan mereka.
Coba saja jalan dengan lawan jenis beberapa kali, pasti akan ditanya, kapan undangannya, atau kapan diseriusin? Lha memangnya kalau jalan dengan sejenis belum tentu juga mengarah pada percintaan eksklusif? Ini kebiasaan. Tabiat dan kebiasaan kita, bangsa timur yang suka basa-basi padahal kadang kebablasan.
Orang Tua
Siapa yang tidak takut, apalagi orang tua anak gadis, pasti was-was dan cemas. Jangan-jangan anaknya hanya jadi mainan, jangan-jangan nanti kayak tebu, dan jangan-jangan yang lain.Â
Ketika tergesa-gesa, sangat mungkin salah pilih dan salah pasangan. Sangat logis dan wajar orang tua khawatir dan cemas. Namun toh tidak juga harus tergesa-gesa untuk menikah, apalagi kalau ujungnya bubar. Satu RT ada dua anak usai 20-an awal sudah menjanda, pernikahan hanya kisaran setahun.
Pola Pikir
Mau cewek atau cowok akan sama saja. Memang kadang lebih banyak cewek yang mendesak untuk sesegera menikah, ketika sudah beberapa kali bertemu. Jika tidak menikah, akan tanya memangnya mau apa? Mua dibawa ke mana. Wajar sih, tidak salah juga.
Kembali, itu budaya, kebiasaan, dan sudah menjadi tradisi. Seolah tergesa dan takut ini dan itu. Lha apa iya relasi itu hanya untuk perkawinan, seksual, dan sekitarnya? Padahal tidak mesti juga.
Biasanya, ujung-ujungnya kalau bicara pasangan, pernikahan, atau minimal pacaran dan kemudian bubar, selesai sudah juga pertemanan, bahkan persaudaraan yang ada. Relasi, saling suport, atau saling sapa selama ini bisa bubar.
Seorang rekan ASN berkisah, temannya itu biasanya main seksual dengan siapa saja di mana saja, bahkan mengaku pernah di toilet sekolah. Rekan yang sama juga mengaku, kalau kegiatan luar kawan-kawannya itu girang bukan main, ternyata banyak yang akhirnya cinta lokasi atau cinta sejenak, keluar berdua dengan pasangan orang lain tentu saja, memanfaatkan waktu senggang dan waktu luang.
Ia mengatakan, lha kog hidupnya konsentrasinya hanya pantat perempuan, itu konteks laki-laki. Seolah hidupnya hanya mengabdi pada maaf kata kasarnya selangkangan.Â
Memangnya tidak ada hal yang lebih mulia, mendasar, dan bermakna. Di rumah mereka punya anak, masing-masing juga pasangan. Untuk apa janji perkawinan mereka bangun?
Apa yang tertulis ini bukan kampanye untuk selibat, iklan untuk melajang, hanya saja, hidup itu sangat luas, mengapa harus fokus hanya pernikahan atau perkawinan, yang tidak semudah kata motivator pernikahan. Mau menakut-nakuti? Tidak juga, tetapi kadang orang terlalu ekstrem padahal ada jalan tengah yang sering tidak diperhatikan.
Persaudaraan tanpa pernikahan, jauh lebih baik, mendewasakan untuk bisa mengontrol emosi dan juga rangsang seksual. Ini pembiasaaan, tanpa adanya proses tidak akan mungkin mampu menjalinnya. Memang akan menabrak banyak aral melintang. Sudah dibahas bagaimana sosial masyarakat terbiasa melihat dan menilai.
Perkenalan jauh lebih mendalam sebenarnya, tanpa adanya embel-embel kapan kawin. Lha yang tanya kalau ada masalah juga mana peduli. Pinjam uang saja lho belum tentu mau memberi, apalagi kalau harus membantu dalam konteks yang lebih berat.
Perpisahan usai menikah, biasanya karena pengenalan kurang mendalam. Jangan pernah merasa jadi dukun atau paranormal, mengandalkan intuisi yang belum tentu juga jernih pas itu. keputusan seuur hidup kog dijatuhkan sesaat.
Tanpa embel-embel menikah atau memiliki secara eksklusif orang akan lebih bebas, termasuk bebas seksual. Bebas bukan dalam arti melakukan dengan bebas. Lebih lepas tidak akan fokus pada aksi seksual.
Mengubah kebiasaan, pola pikir, dan tabiat memang tidak mudah. Perlu pemikiran mendalam, bagaimana dampak, efek manfaat, dan kemerdekaan pribadi itu juga penting.
Terima Kasih dan Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H