Natalius  Pigai, Kompasiana, dan Saya
Akhir-akhir ini babak perseteruan netizen dan Natalius Pigai menjadi. Provokasi dan agitasi Pigai sukses membawa pada posisi yang diinginkan. Netizen lupa bahwa itu, apa yang dilakukan Pigai selama ini memang memancing keributan dan ujungnya bisa membawa pembenturan antarapapun yang bisa digunakan.
Ketika ada warganet yang membuat ulah dengan menyandingkan Pigai dengan hewan, langsung memantik reaksi dari saudara-saudara Pigai lainnya. Langsung bicara suku. Padahal  jika mau jernih, siapa yang bicara suku, yang disandingkan adalah pribadi. Inilah celah yang abai diperhatikan para netizen yang menggunakan emosi di dalam menyikapi fenomena yang ada.  Aksi dan reaksi yang memang ditunggu-tunggu.
Pengulangan yang itu-itu saja, jelas tampak bahwa itu adalah upaya menggiring publik yang brangasan untuk membuat ulah yang bisa memantik kerusuhan yang berskala nasional. Ingat kisah Ahok ada pola yang identik. Penggiringan opini ke arah agamis yang sukses.
Kompasiana mengajarkan kepada saya untuk cerdik di dalam menjawab peristiwa, fenomena, dan kejadian. Sebelum era cabut label, malah pembredelan artikel. Kehati-hatian di dalam memilih diksi, kata, untuk menyatakan pendapat yang sangat mungin bisa berpotensi penghinaan dan penistaan. Selain memang bukan gaya saya mencaci dan mengatakan hewan. Beda ketika bicara langsung lho ya.
Beberapa trik yang bisa menyelamatkan  kerasnya pernyataan kita tanpa kena semprit  Admin. Awal-awal menulis, sering ditambahi tanda tanya (?) dalam judul. Ini jelas aman dari tuntutan pihak-pihak yang tertulis dalam opini tersebut. Yang ada adalah kemungkinan, bukan kesimpulan. Trik yang baik diberikan oleh Admin.
Keras itu berbeda dengan kasar. Dalam permainan sepak bola sangat jelas. Keras itu aman, pemain lawan tidak cidera, maka tidak akan mendapatkan kartu. Berbeda dengan kasar, ganjaran kartu di depan mata. Nah boleh keras, asal bukan kasar. Syukur kenal  media awal Kompasiana, bukan sebelah yang biasa menggunakan istilah sangat kasar dan sering hewan.  Lha mau apa dengan bermedia demikian?
Trik selanjutnya menggunakan kanal atau jalur berbeda. Misalnya dijadikan fiksi. Ini jelas sangat aman. Tetapi belum tentu piawai menjadikan kisah nyata menjadi sebuah fiksi yang sangat menarik dan bisa membuat pembaca menengoknya. Â Jelas akan aman dari segala pasal jika demikian. mengolah dengan bahasa fiksi itu sangat kaya dan luas.
Model lainnya adalah satire. Tetapi hati-hati, bisa kena maki pihak-pihak pengulik judul dan model komen tanpa baca. Jangan mengira ini hanya orang tidak berpendidikan. Lha sekelas rektor saja berperilaku demikian. Ini semua pengalaman di Kompasiana.
Kebiasaan lain yang menjadi masalah adalah, merasa berjarak. Karena melalui media, bukan langsung yang bisa kena gampar dan melihat perubahan raut muka atau bahasa tubuh lainnya kemudian menjadi berani. Merasa baik-baik saja, dan sangat mungkin berlindung pada akun lain atau akun tuyul.
Padahal perlu dingat ada UU ITE. Itu bisa menjadi bencana dasyat yang tidak sederhana.