Jual Nasi Goreng, Mengecat Kolong, dan Konsultan Politik
Kemarin pagi, di tengah mendung yang amat, pagi-pagi omong kosong melalui media percakapan dengan Kner Uni Dessy, yang lama tidak nulis. Temanya jelas sekali nasi goreng. Cukup aneh dan malah tidak menjual, cenderung malah menjadi bahan olok-olokan. Ini adalah komunikasi publik untuk menarik simpati dan ujungnya pemilih, bukan semata hanya guyonan.
Banner Pak BY dan almarhum Ibu Ani memasak nasi goreng ini sangat serius, bagus, dan memberikan gambaran keluarga ideal, harmonis, dan menyediakan diri untuk menjamu siapapun yang mau. Nasi goreng itu sangat khas, mulai dari kaki lima hingga hotel bintang lima ada. Semua lapisan terbuka bagi Demokrat.
Sayang seribu sayang, tampaknya hal ini belum dibicarakan sebagai sebuah sarana rebranding, atau kampanye dini mereka. Elit mereka malah mementahkan dengan dua tema besar saya rasa sangat mengerdilkan hal ini.
Ini hanya seru-seruan. Lha masak hanya seru-seruan, seperti pesta ABG yang tanpa ada maksud sama sekali. Tidak demikian. Itu pasti sudah dirancang dengan amat serius. Gambar dan photo yang terpilih dengan tampilan yang menjual. Pilihan nasi goreng yang kemudian digoreng sebagai keadaan sulit itu sudah dalam satu frame yang menjual untuk menohok pemerintah. Terbantahkan dengan pernyataan intern mereka, kalau itu hanya seru-seruan.
Kedua, Pak SBY biasa masak untuk intern. Kembali mematahkan argumen dari ketua pemenangan mereka yang mengatakan, nasi goreng itu untuk siapa saja. Kontradiktif yang langsung menghancurleburkan sendiri.
Kisah bahasa simbol yang terbit berbarengan adalah Anies yang seolah sedang mengontrol hasil pengecatan jalan layang. Langsung saja ramai-ramai ledekan muncul, seperti mandor proyek, atau cuma itu kemampuannya, copas semata, malah kemudian banyak dimunculkan komentar Anies atau pendukungnya mengenai pembangunan fisik, infrastruktur, yang semuanya bertolak belakang.
Lagi-lagi, sama dengan apa yang Demokrat capai, malah kontraproduksi dengan apa yang hendak mereka sasar. Anies maunya menampilkan, ini lho kerjaku, capaianku, prestasiku, dan hasil kerja keras dan cerdas. Semua berantakan.
Sama juga dengan ia makan di warung atau ia memegang gerobak sampah. Apa yang terjadi malah bumerang, menyerang kembali pada diri sendiri dari pada mendapatkan simpati dan publikasi secara masif.
Mengapa terjadi?
Citra diri dan apa yang ia tampilkan secara terskenario itu berbeda. Susah melihat Anies bekerja di lapangan. Ia itu orang kantor, orator pula, ya jangan mengambil citra pihak lain, yang sederhana, kerja keras di lapangan. Bukan itu.
Pak Beye juga bukan citra pekerja lapangan, bukan nasi goreng yang seharusnya ia tampilkan. Namun bagaimana ia memimpin pasukan, memimpin rapat, mengawal jalannya sidang kabinet misalnya.
Semua ada porsi dan kekuatan masing-masing. Jangan malah maruk mengambil citra pihak lain. Identik dengan Yusril main ke pasar. Semua tampak lucu, aneh, dan malah jadi tertawaan. Sandiaga Uo juga gagal ketika ia masuk ke  pasar. Mungkin seumur-umur ia baru ke pasar kali itu, jadi canggung dan malah ngaco. Memilih pete untuk wig, maunya ngelucu  malah nggeblak karena menjadi bahan olok-olokan.
Padahal Sandy sangat pas masuk pada komunitas pengusaha, di tengah-tengah pabrik, atau mahasiswa di kampus. Tidak malah memaksakan masuk pasar yang ia malah jadi tertawaan. Ini ngaco namanya.
Konsultan politik yang mampu memoles apa yang aslinya kelemahan menjadi kekuatan, bukan sebaliknya. Kekuatan dikemas menjadi sangat besar dan menjanjikan. Ini hal yang memang bisa dilakukan oleh profesional. Salah satunya keterlibatan lembaga survey juga.
Selama ini lebih banyak pelaku politik dan partai politik malah berebut ceruk yang sempit dengan pemain banyak. Salah satunya berebut kelompok fundamentalis, ultrakanan. Sangat sempit namun yang berebut banyak. Mereka puja-puji dan membela FPI salah satunya adalah ini, suara mereka. Padahal secara signifikan tidak jelas, militansinya pun patut diragukan.
Menyerang bak babi buta pada pemerintah, khususnya Jokowi, dan pada kader partai lain yang sangat moncer kerjanya. Ada Ahok, Risma, apapun yang mereka kerjakan akan mereka hajar ramai-ramai. Hal ini jelas malah membuat pemilih antipati dan menjadikan iklan murah meriah bagi tokoh yang dihajar terus itu.
Pilihan politik cemar asal tenar, seolah menjadi sebuah pilihan favorit, meskipun berkali-kali tidak menjual. Ini soal kreativitas dan memilih dengan cerdas apa yang harus dilakukan. Efektif dan tepat guna. Salah-salah ya malah jadi bahan tertawaan yang tidak akan selesai.
Zaman modern, semua ada spesialisnya, tidak lagi era di mana semua hal dikerjakan ramai-ramai pasti bagus. Tidak juga benar. Biarlah profesional turun untuk memoles. Lha aplikasi android saja bisa memperbaiki wajah yang belepotan. Atau perias bisa mengubah nenek 66 tahun baik gadis usia 25-an, politik pun saatnya demikian.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H