Pak Anies, Hati-hatilah dengan Warna Pelangi!
Baru kali ini menulis dengan banyak mencari referensi dan menggunakan ilustrasi sejak awal. Beberapa tulisan  menggunakan ilustrasi karena tambahan dari rekan, kali ini memang sejak awal demikian. Judulnya ini  pemberian Om Joko Cacuk, mana bisa saya membuat judul demikian. ilustrasi atas share link dari Om Suyono Apol yang katanya akan mulai menulis lagi.
Pak Anies sedang menjadi perbincangan dengan ramai, heboh, dan panas bahkan pro dan kontra karena mewarnai atap atau genteng warga. Itu belum cukup dilanjutkan dengan pilar kolong dari jalan layang. Sontaklah yang tidak suka atau kontra akan menyatakan itu sebagai hal yang tidak bermanfaat, sekelas gubernur hanya bisa copasan dari kampung di Malang dan Semarang. Sadis pokoknya.
Susah mendapatkan bahasan yang menyatakan dukungan atas inisiatif Guberur Jakarta ini. Wajarlah namanya juga warganet dan politikus. Lebih suka hiruk pikuk, ramai, debat, dan pokoknya seru. Apalagi jika bicara afiliasi politik, ya sudahlah. Nyatanya hampir semua fraksi dewan Jakarta juga mempertanyakannya.
Ada yang lebih rasional, sedikit untuk memahami pilihan Anies, mengenai estetika, warna yang semarak memang memberikan keindahan. Ini bukan yang pertama , dulu pernah juga mewarnai beton tepi jalan diberi warna yang aneka ragam. Itu jelas melanggar UU yang mengatur pewarnaan jalan dan sekitarnya yang memang ada fungsi dan maksudnya.
Ini soal fungsi yang kelihatannya diabaikan karena berkaitan dengan dasar aspek manfaat. Mengenai genteng dan kolong ya memang tidak ada aspek manfaat, karena menonton pun dari atas, eh sudah dilengkapi yang kolong. Atau kalau mau memotret perlu drone. Ini soal lain.
Malah lebih memilukan ini sangat mungkin bisa dimaknai secara ngaco atau candaan, jangaan-jangan Jakarta khususnya Anies Baswedan pro minimal ramah LGBT. Ingat, pelangi, warna-warni demikian, bagi budaya Barat itu adalah warna kebanggaan dan kebesaran  kaum LGBT.  Syukur bahwa yang memberi klir ini Anies, saya bayangkan kalau Ahok yang memiliki ide dan gagasan ini, masih ada pula FPI seperti apa hujatan, makian, dan sangat mungkin demo tanpa henti. Cat sudah ganti pun akan tetap laju.
Selengkapnya bisa dilihat lebih detail di sini.Â
Tetapi, asumsi dan pemanfaatan peluang itu jangan diabaikan. Lihat saja, belum lama di Bali diributkan dengan keberadaan turis yang membuka layanan konsultasi tinggal di Bali khususnya. Â Ia membuka layanan itu berbayar dengan konon memberikan pernyataan jika di Bali memberikan keramahan kepada pasangan LGBTQF.
Kristen Gray memanfaatkan peluang itu untuk mencari keuntungan sendiri. Klaim Indonesia mudah untuk masuk pandemi. Ramah terhadap kaum LGBTQF, lha ini kan sangat subyektif, asumsi bebas atas apa yang ia rasakan.
Hal yang sama bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh para oknum dari Barat untuk kampanye kepentingan dan keuntungan mereka. Ingat, kini Barat sedang "marah, geram, dan jengkel" dengan pilihan-pilihan pemerintah. Hal sekecil apapun bisa menjadi bahan kampanye mereka.
Mengapa perlu sedikit risau?
LGBT dan model demikian, masih sangat sensitif bagi banyak pemahaman orang Indonesia. Lihat bahasan di atas soal MUI menyerukan boikot unilever. Itu juga masih kuat tertanam dalam diri masyarakat lainnya. Â Barat tentu berbeda pemahaman, namun menggunakan itu untuk kampanye kepentingan mereka.
Memang bukan hal yang buruk pewarnaan atap, kolong jalan, ataupun dinding itu, namun kemendesakan, dan fungsi, serta manfaatnya itu sejatinya yang lebih penting. Tidak salah, namun tidak juga benar. Jadi lebih baik dilihat dengan kaca mata tengah, bukan malah pro dan kontra.
Itu tidak mendesak, namun juga tidak ada yang buruk. Atap, jalan, dan pemandangan menjadi semarak. Layak mengurangi pro dan kontra jelas lebih baik. Apa ya tidak capek setiap saat kog hanya diisi dengan perselisihan.
Padahal ada pihak-pihak yang menghendaki demikian.  Bangsa ini kaya dan besar, malah kadang menjadi kecil, kerdil, dan lemah karena mau diperbudak oleh pihak lain yang hanya mencari keuntungan sendiri. Berkali ulang, apalagi jika ingat sejarah penjajahan bangsa ini, begitu lama hanya karena susahnya persatuan. Kini, ketika kemerdekaan sudah ada, sikap itu masih saja demikian. Dimanfaatkan para  pelaku yang mencari keuntungan sendiri dan sesaat. Itu juga termasuk anak bangsa sendiri.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H