Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Duta-duta Ngaco, Raffi Ahmad Paling Beda

23 Januari 2021   19:05 Diperbarui: 23 Januari 2021   19:13 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Duta-duta Ngaco, Raffi ahmad Paling Beda

Beberapa hari lalu, usai vaksinasi perdana covid, pembicaraan malah bergeser kepada perilaku Raffi ahmad yang kedapatan berpesta dan berphoto tanpa masker. Langsung saja caci maki bertebaran, maklum kondisi selalu dikotomis ada dalam bermasyarakat di negeri ini. Riuh rendah pada yang artifisial, pada yang esensial abai,

Raffi ahmad dengan reputasinya, pengikut di media sosial termasuk sangat banyak, wajar dijadikan ikon, model, dan salah satu duta untuk mendapatkan vaksin perdana bersama dengan presiden. Harapannya adalah dengan figur publik yang diikuti banyak orang sudah tervaksin, banyak pengikutnya yang akan dengan mudah ikut serta dan narasi buruk vaksin bisa terminimalisir.

Duta-duta yang sudah-sudah itu biasanya ngaco dulu kemudian dijadikan duta. Kebalikan kali ini, duta dulu baru ngaco. Benar bahwa Raffi Ahmad sudah meminta maaf, namun bahwa itu membawa gelombang kehebohan baru, apalagi di tengah pro dan kontra, dikipasi oleh politikus sakit hati, makin menjadi.

Hal yang sepele, sederhana, dan tidak mendasar sebenanya, masih banyak hal yang bisa diperbincangkan lebih lanjut mengenai keberadaannya di dalam pesta itu, bagaimana dengan tamu, berapa yang hadir, ruang atau tempat pesta, dan banyak lagi. Tetapi toh, tabiat kita adalah penghakiman langsung, sepihak, dan berdasarkan asumsi semata. Itu kasus lain, pembahasan kali ini mengenai kebiasaan perilaku ngaco didutakan.

Beberapa kasus yang sudah terjadi,

Cukup lama, masih awal-awal bermedia Kompasiana, ada anak SMA membawa mobil dicegat polwan, karena merasa keponakan jenderal di Jakarta si anak ini menolak tindakan displin ibu polwan.  Cukup ramai dan heboh sampai menasional pembicaraannya. Khas ala negeri 62 penyelesaiannya maaf, khilaf, dan seterusnya.

Eh tidak lama kemudian malah dijadikan duta tertib berlalu lintas. Entah  dari mananya menjadi duta tertib berlalu lintas, apakah bisa juga bang napi nantinya usai keluar dari lapas menjadi duta keamanan kampung?

Masih dengan konteks yang sama, Zazkia Gotik, seorang penyanyi, dalam sebuah acara bercanda mengenai Pancasila. Ia dinilai melecehkan Pancasila dengan membuatnya bahan candaan, tentu bukan soal konten itu yang menjadi pembahasan, namun bagaimana kemudian ia malah menjadi duta Pancasila. PKB kala itu yang menjadikannya duta. (kompasiana.com)

Lagi dan lagi, menjadikan duta karena pernah "berkasus" terlebih dahulu  secara negatif. Lha memangnya tidak lagi cukup pihak yang telah menjunjung tinggi Pancasila, menunjukkan kecintaannya pada NKRI dan Pancasila untuk menjadi duta bangsa? Sejatinya miris, tetapi seolah itu adalah gaya hidup para politikus bangsa ini.

Masih ada, kini menyangkut artis juga, Dewi Persik yang melanggar jalur transjakarta dan kemudian dijadikan duta tertib berlalu lintas. Aneh dan lucu, ketika ia dan rekannya malah marah-marah  ketika ditegur menggunakan jalur yang bukan peruntukannya.

Mendapatkan sebentuk penghargaan karena menjadi duta, tanya yang sama, apa tidak ada artis lain yang lebih tertib hukum, taat aturan lalu lintas, kog memilih orang yang melanggar aturan untuk menjadi model dan membudayakan tertib. (kompasiana.com)

Benar bahwa orang yang pernah bersalah akan  lebih bisa mengerti akan kesalahannya, namun apakah demikian? Bisa dilihat perilaku hidup bersama kita selama ini. Bagaimana  terpidana korupsi itu banyak yang mengulangi perbuatannya. Sering kita dengar, jika penjara adalah sekolah kriminal. Main meningkat ilmu kejahatannya sekeluarnya dari bui. Apalagi duta-duta ini, yang mereka mungkin belum sadar kesalahannya.

Manfaat Duta

Sependek pemahaman saya, duta-duta itu dipilih untuk menjadi contoh, model, dan teladan di dalam lingkup yang ia jalani. Misalnya duta vaksin, berarti bahwa ia menerima vaksin dan kemudian hidup sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari kampanye adanya vaksinasi ini.

Duta tertib berlalu lintas, juga sama saja, bagaimana figur itu menjadi pionir di dalam tertib berlalu lintas dan masyarakat mendapatkan edukasi dengan keberadaan duta itu. Perilaku mereka sudah sangat sesuai dengan aturan yang ada, sehingga menggerakan orang untuk ikutan tertib.

Pun duta Pancasila, sama saja. Harapannya adalah kampanye Pancasila jiwa dan hidup bangsa ini menjadi semakin membumi di Nusantara. Tetapi apakah itu semua terjadi?

Evaluasi

Negeri ini lemah dalam sisi evaluasi. Seolah tidak ada malah. Lihat saja selalu sama ujungnya. Mudah ketebak sejak awal. Pola pemilihan duta atau utusan usai orang melanggarnya, pun hasilnya seperti apa seolah menguap begitu saja.  Hampir dalam banyak kegiatan dan isu hal ini terjadi.

Pada posisi lain, ketika memilih menjadi apapun sering hanya melihat satu sisi atau satu aspek, ketenaran misalnya, tanpa mau tahu sisi lainnya yang kadang  menjadi batu sandungan selanjutnya. Mirisnya kog selalu saja terulang.

Kesadaran. Hal yang jauh dari tabiat, kebiasaan, dan perihidup bersama kita di dalam hidup bersama. Lebih memilih kehebohan dari apa yang seharusnya dilakukan.

Kurang berjarak. Ketka heboh ribut dengan berbagai-bagai analisis dan kepakaran dadakan, namun kadang juga abai akan sisi yang berbeda.

Proses memang masih panjang. Harus melalui itu semua untuk kemudian mendapatkan jalan terbaik di dalam hidup bersama.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun