Obsesi pada Orang Asing, Elit pun Begitu
Pada gelaran pilpres Amrik periode lalu, ada elit bangsa ini yang ikut kampanye capres Donald Trump. Mereka dengan wajah dan bahasa tubuh bangga berphoto dengan kandidat  yang akhirnya menang itu. Kalau tidak salah ingat kala itu Fadli Zon selaku waki ketua dan Setya Novanto masih ketua DPR-RI, jadi bukan orang sembarangan.
Polemik terjadi, karena dengan demikian sangat mungkin terbaca bagaimana dewan RI ikut dalam memberikan dukungan kepada salah satu kandidat pemilihan presiden negara lain. Tidak ada  yang salah, namun tentu saja tidak elok dilihat publik dunia bagaimana etika berbangsa yang pantas. Untung bahwa Donald Trump menang. Susah membayangkan jika kalah.
Krisis Identitas
Bangsa ini kehilangan jati diri yang hakiki. Selalu bingung menentukan warna dan jati dirinya yang hakiki. Lihat saja bagaimana dalam berbahasa, berbusana, dan juga dalam bersikap kepada orang asing. Lntur kepribadian sendiri dan malah kemudian menjadi bingung. Pemilihan kata asing dalam tulisan, ucapan, dan kata-kata sehari-hari, mau barat atau Arab ya sama saja. Toh bahasa kita pun dipelajari di banyak negara.
Pakaian pun demikian. ada propaganda kalau mengenakan pakaian tertentu lebih agamis, lebih saleh, lebih suci, namun abai akan perilaku. Salah satunya yang paling heboh, pemaksaan jilbab bagi murid Nonmuslim. Ini aneh, karena itu adalah sekolah negeri. Narasi yang dibangun lebih ngaco, ketika mengatakan lebih rapi, toh kakak kelasnya mau, dan sebagainya.
Apa buruknya bahasa kita, apa salahnya busana kita coba? Mengapa harus mengambil alih dan mengadopsi gaya berpakaian, gaya bicara asing? Sangat mungkin pakaian itu model demikian demi keamanan, kesehatan, atau hal lain, yang jelas konteks itu sangat mungkin berbeda.
Ada kog presiden yang lebih suka memilih kata, diksi, dan lontaran dalam bahasa asing. Ada pula presiden dengan logat bahasa ibunya malah direndahkan. Jelas bukan bagaimana jiwa bangsa ini?
Sama juga dengan tata negara, di mana memilih sistem presidensial namun dewan juga ngotot sangat berkuasa. Adanya koalisi dan oposisi, hal yang hanya ada dalam konsep parlementer. Toh di jalani dengan demikian.
Pun mengenai pemilihan negara agama atau Pancasila. Susah menyatakan negara ini Pancasila sebagai dasar, lihat saja dan rasakan sendiri. Artinya memang bingung dengan jati dirinya. Mau agama tidak juga, mau Pancasila kog juga masih takut neraka.
Gaya feodal dengan hirarkhis kaku sangat terasa, terutama Jawa. Bagaimana pejabat, asing apalagi itu memiliki kedudukan yang istimewa. Peran pembentukan masyarakat model ini sangat kuat berpengaruh hingga hari ini. Diperparah dengan konsep-konsep agama pun asing semua. Wajar kemudian orang menjadi krisis identitas.
Bung Karno pernah mengatakan, kalau jadi Islam ya jangan jadi Arab, mau jadi Hindu ya jangan jadi India, mau jadi Kristen ya jangan jadi Barat. Hal yang secara esensial mau menjadikan negeri ini memiliki jati diri yang kuat dengan tetap memiliki agama yang sama kuatnya.
Sejatinya agama dan budaya setempat tidak ada yang konflik, namun pemaksaan oleh sekelomok orang yang memang fundamentalislah yang merusak harmoni itu. Ingat ini soal cara beragama bukan agamanya.
Pendidikan
Pendidikan juga berperan dengan memberikan muatan bahasa asing yang kadang diberi porsi, perhatian, dan pengakuan berbeda. Lihat saja nilai Bahasa Indonesia bagus, kalau Bahasa Inggris jelek tidak akan  mendapatkan pujian semestinya.
Dunia pendidikan ikut berperan. Pola pikir itu terbentuk dalam pendidikan, selain dalam keluarga tentunya. Nah insan pendidikan yang perlu mendapatkan pemahaman dan kesadaran terlebih dahulu untuk mengubah hal ini.
Sosial Budaya
Lihat saja penamaan kawasan wisata, okelah karena demi menarik wisatawan asing. Apa urgensinya dengan kawasan hunian. Perumahan demi perumahan pasti menggunakan kata asingnya. Biasanya  Inggris, kini beberapa dengan kata Arab. Seolah biasa saja.  Padahal ini adalah hal yang prinsip.
Judul-judul tulisan, buku, novel, pun kalau tidak kebarat-baratan juga kearab-araban. Berbeda jika itu adalah jurnal ilmiah untuk internasional.
Jangan lupa, tuh dalam sepak bola. Kelasnya masih lokal, yang nonton juga orang Indonesia, namun menggunakan kata-kata asing, red card, coach, padahal  padan kata dalam bahasa Indonesia juga ada dan dulu juga biasa saja diucapkan.
Jadi, wajar saja kalau orang kemudian menjadi gagap ketika berhadapan dengan orang asing. Apa yang asing sudah tertanam dalam benak pasti baik, lebih benar, dan asyik, serta modern. Padahal belum tentu demikian.
Pola pikir yang diterapkan, ditekankan, dan diulang-ulang, baik sengaja, sadar, ataupun tidak sadar telah membentuk kepribadian bangsa ini. Lebih repot lagi kalau ada yang mengaitkan dengan mutu religiositas seseorang. Ini sebenarnya sih kampanye dan iklan murah meriah.
Perlu kesadaran untuk mau memilah dan memilih untuk kembali pada jati diri bangsa. Melihat asing dan orang lain sebagai hal yang biasa. Itu perlu kerja sangat keras, karena masih banyak yang menggunakannya sebagai sarana politis.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H