Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pandji Memuji FPI dan Politik Kepiting

21 Januari 2021   11:56 Diperbarui: 21 Januari 2021   20:02 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandji dan Politik Kepiting

Dalam sebuah pernyataan, Pandji memuji FPI dan menggunakan NU dan Muhamadiyah sebagai pembanding. Tidak ada yang salah  memuji dan membela FPI, ini namanya demokrasi, masalah dan kesalahannya adalah dengan menjadikan pihak lain sebagai pembanding dan lebih buruk. Ini kesalahan, dan biasa model berpolitik dan berpolemik di Indonesia demikian.

Pandji tentu paham bagaimana bersikap itu, kan dia pemain stand up comedy, biasa mengangkat bahan-bahan apa saja untuk membuat orang tertawa. Ia tentu juga paham pakem Srimulat dalam menciptakan kelucuan. Mereka menggunakan kelemahan diri masing-masing menjadi kekuatan. Ada Tukul dengan kumis lele dan mulutnya itu. atau Marwoto dengan mulut yang sangat lebar, artinya apa? Mereka tidak akan menjadi kasus hukum karena ketersinggungan. Mereka meledek diri sendiri, bukan pihak lain.

Politik kepiting. Kepiting itu kalau mau membebaskan diri, dari ember penyimpanan misalnya, akan merangkak dengan menginjak dan mencapit kepiting lain. Jika ada yang sudah ada di atasnya, ia dengan tega akan menariknya untuk kembali jatuh dan ia yang merangkak naik dengan menginjak kawannya. Biasanya yang kabur ya yang besar karena memang segalanya. Nah politik bangsa ini masih model demikian.

Mengenai pujian ke FPI soal bencana itu faktual, benar, dan memang sering tanggap untuk hadir di sana. Tidak ada kaitan dengan motivasi, cara mendapatkan dana, dan sebagainya. Itu soal lain, bahwa mereka hadir dan ada di sana iya, faktual, dan itu perlu diakui kebenarannya. Tidak ada masalah sama sekali, di luar konteks terlarang, toh masih bisa dibicarakan. Mengenai kemanusiaan terutama bencana mereka memang kerap hadir.

Sama sekali tidak bisa menjadi hakim atas motivasi, sumber dana, atau apapun, karena hanya mereka dan Tuhan yang tahu mengenai hal itu semua. Kemanusiaan yang mereka bantu dan hadapi, berbeda dengan motivasi dan yang lainnya.  Tidak bisa itu menjadi pembenar untuk menyalahkan atau menegasikan bahwa mereka juga berbuat baik.

Apakah itu menjadi nilai plus untuk bisa bertahan? Ternyata tidak cukup, itu sesuai dengan SKB yang dikeluarkan oleh kementrian dan lembaga. Sudah final dan tidak bisa diotak-atik lagi.

Mengapa menyasar dan membandingkan dengan NU dan Muhamadiyah? Ini soalnya, mengapa mengambil pembanding kog jauh banget. Berbeda jika itu LDII, atau MTA, setara dan selevel, pun sangat tidak elok. Memperbandingkan sesuatu demi menaikan kapasitas diri dan kelompok. Cara-cara yang perlu disadari dan dihilangkan.

Kebiasaan untuk memperbesar kapasitas dan citra diri dengan merendahkan atau membandingkan pihak lain. Coba jika dibalik, pihak NU dan Muhamadiyah membandingkan jumlah sekolah atau pesantren mereka? Jelas FPI yang akan ada di bawah. Tidak bisa membandingkan jika hanya satu aspek, membantu di dalam keadaan bencana. Padahal bisa juga ketika ditelisik belum tentu demikian adanya. Yang tampak dipermukaan belum tentu demikian.

Apa benar FPI lebih disukai publik karena hadir di tengah-tengah bencana dan NU-Muhamadiyah tidak? Jelas lebih ngaco lagi. NU paling tidak, ada GP Ansor yang selalu datang, hadir, dan siap dalam banyak keadaan dan kejadian. Susah melihat mereka tidak hadir di tengah bencana, ketika pengawalan kelancaran jalan dalam banyak acara mereka terlibat. Pun Muhamadiyah.

Apa yang Pandji nyatakan itu terlalu sumir dan subyektif dengan mempermainkan perbandingan. Mau membesarkan FPI itu sah-sah saja, sekali lagi namanya demokrasi bisa dijamin oleh UU. Tetapi karena dengan mengecilkan peran lain, kalau pihak-pihak yang di belakang mereka tidak terima ya wajar dan melaporkan kepada pihak berwajib.

Dikotomis. Hal yang sangat biasa dijadikan cara melihat persoalan. Kampanye, debat, dan afiliasi politik selalu saja demikian. Phaknya pasti benar dan rival pasti salah. Padahal ada alternatif, di tengah-tengah. Benar, bahwa tidak ada yang obyektif sepenuhnya dan lepas kepentingan, tetapi mencoba melihat dengan kaca mata yang lebih jernih masih bisa.

Tanpa perlu merendahkan dan  membandingkan. Ini jelas lebih bijak, aman, dan tepat. Ada sebuah olok-olok, tidak pernah ada perokok itu berantem apalagi sampai laporan polisi hanya karena beda selera. Mereka tidak pernah membandingkan bahwa rokoknya lebih enak dan merendahkan selera pilihan rekannya.

Paradgima kecap. Iklan kecap nomor satu, tidak ada yang mengatakan nomor dua dirinya. Tetapi mereka tanpa harus merendahkan merk lainnya. Otomotif demikian juga, selalu di depan, konsumen sudah tahu, tanpa merk A mengatakan B di belakangnya. Hal model demikian yang perlu dipelajari politikus dan yang biasa berpolitik, sehingga tidak meninggikan diri dengan cara merendahkan rival.

Beberapa waktu lalu ada sebuah  ilustrasi di mana seorang guru menggambar garis dan meminta muridnya untuk membuatnya lebih pendek. Murid-murid biasanya akan menghapus garis itu sehingga lebih pendek. Ada satu siswa yang membuat garis sendiri lebih panjang, sehingga garis milik gurunya lebih pendek.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun