Terima Kasih Arab Saudi dan Turki, Turut Menyukseskan Vaksinasi di Indonesia
Vaksinasi yang diterima Presiden Jokowi masih saja menjadi bahan untuk ribet. Kali ini bahkan dari dalam partai utama pendukung pemerintah. Eh ditambah pula pelaku penerima vaksin perdana yang dimaksudkan untuk menjadi agen meyakinkan publik malah berulah dengan berpesta. Permintaan maaf mana diingat, terutama barisan korban cuci otak.
Sudah lebih tiga hari, malah cenderung melemahkan, bukan menguatkan gaung vaksinasi sebagai salah satu upaya menangani pandemi. Warga Malaysia saja sampai iri dengan cepatnya pemerintah melaksanakan vaksinasi. Jumlah penduduk yang sekian besar itu perlu dana yang tidak kecil. Perusahaan penyedia vaksin tidak cukup banyak dalam waktu yang relatif singkat. Perlu diingat, ini bukan obat warungan, dan seluruh negara di dunia juga memerlukan.
Wajar jika saling minta dulu, produsen juga terbuka kemungkinan siapa cepat bayar ia dapat. Ini yang perlu disadari, bukan semata mintanya banyak, tapi abai kemampuan. Ribut dan ribet yang ada, tanpa mau keadaan yang ada itu sangat pelik. Sisi bisnis dan pengadaan, belum lagi mengenai perang pengaruh dan siapa yang mendapatkan pesanan terbanyak. Ingat ini negara makelar lho, jangan sok-sokan berpikir naif.
Eh malah sebagian pihak yang tidak tahu apa-apa seolah jawara jagoan vaksin, sehingga meributkan kandungannya. Sok ahli agama, sehingga menarasikan mana yang boleh dan tidak boleh oleh agama, padahal pemuka agamanya secara umum sudah menyatakan boleh dan bisa dilakukan.
Itu semua terbantahkan, kala pemerintah Arab Saudi mewajibkan sertifikat vaksin sebagai salah satu syarat ibadah haji. Â Padahal yang memiliki kecenderungan menolak, sangat memuja Arab, lebih Arab dari pada Arab. Lha nyatanya Raja Arab Saudi juga sudah menerima vaksin.
Pun  banyak kalangan di sini, yang cenderung tidak yakin pemerintah, lebih memilih Erdogan dan Turki, entah apa pertimbangannya. Tidak menjadi fokus pembicaraan, namun bahwa Erdogan sudah mendapatkan vaksin Sinovac, sama dengan yang sebagian besar di sini dapatkan, mau membantah apalagi. Mulai Arab Saudi hingga Turki pemimpinnya semua sudah menerima vaksin,  alasan berdasar agama berarti sudah tidak memiliki landasan yang cukup kuat.
Vaksin sebagai salah satu sarana untuk memperkuat daya tahan tubuh, kemudian MUI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menyatakan itu boleh dan tidak, legitimasi agama sudah oke, ketika banyak narasi lain yang berkembang berarti bukan kepentingan agama, namun politik-kekuasaan yang lebih menguat.
Masalah pandemi ini sejatinya jauh lebih cepat teratasi, ketika masalah politik tidak ikut masuk di dalamnya. Â Mana buktinya? Lihat saja pemerintah daerah yang ngaco, cenderung bertikai dengan atasan atau bawahan, memikirkan kedudukannya bukan soal pandemi. Tidak perlu menyebut nama dan wilayah, semua juga paham.
Elit dan masa lalu yang ikut dompleng dan ikut-ikutan campur tangan. Mereka ini menciptakan kerumunan, membuat narasi ngaco, sehingga rakyat bingung mau ikut yang mana. Â Termasuk dalam kampanye vaksinasi ini. Entah sampai kapan kaum mabuk kekuasaan ini bisa diam jika tidak bisa memberikan solusi, memaksakan ini itu tanpa aksi nyata mereka lakukan.
Mabuk agama, Â ini sama juga dengan mabuk politik-kekuasaan. Lha semua mengalami, jika ibadah dinyatakan tertutu secara publik, ada sarana lain, masih saja ngeyel. Lebih memilukan, ketika iabdah wajib saja ada yang terpaksa batal, eh pihak lain mengadakan tanpa merasa bersalah hanya sekadar bukan wajib. Sikap among rasa, tenggang rasanya minim. Mengaku mengabdi Tuhan, memuji Tuhan. Lha kog dengan merugikan pihak lain.