Ternyata vaksin juga sama saja. Barisan sakit hati mulai marak. Menimbulkan banyak isu dan narasi yang ngaco luar  biasa. Bagaimana tidak, kemampuan untuk membahas virus dan vaksin terbatas tetapi merasa ahlinya ahli. Bagaimana model demikian bisa membangun negeri. Ini sih memang bagian demokrasi yang sedang latihan. Merasa bisa, bukan bisa merasakan. Derita pihak lain tidak mau tahu.
Mabuk HAM. Merasa HAM-nya terlanggar, elit pula yang bicara. Lha coba tidurlah di jalan raya sana, bagian dari HAM, jangan teriak kalau terlindas tronton. Mosok mengenakan masker melanggar HAM. Mau mampus silakan, tapi jangan jadi penyebab orang lain menderita. Â Aneh saja, wong ketika lapar juga makan, sakit minum obat, vaksin kog melanggar HAM.
Mabuk agama lagi, ketika berdalih kandungan apa di balik vaksin itu. Kaum Gereja Katolik juga kemarin riuh rendah karena bahan dasar salah satu vaksin itu dari fetus. Padahal hirarkhi Gereja yang memiliki kewenangan, laiknya sertifikasi halal MUI sudah menyatakan, kalau adanya itu ya mau apa lagi, artinya bisa. Masih juga ribut. Mabuk agama ada di mana-mana, ingat ini bukan soal rasis, membahas cara orang beragama.
Pemerintah tentu saja tidak akan melanggar hukum, tidak akan menyengsarakan rakyatnya, pilihan paling rasional ya vaksin, kebetulan yang  tersedian merk tertentu. Ingat ini bukan beli kacang rebus di tepi jalan, yang belum tentu banyak yang suka. Ini vaksin, seluruh dunia memerlukan dan belum tetu tersedia. Mau tidak mau ya pakai yang ada.Â
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H