Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Listyo Sigit Calon Kapolri dan Berbangsa yang Semestinya

13 Januari 2021   13:18 Diperbarui: 13 Januari 2021   13:31 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Listyo Sigit Calon Kapolri dan  Berbangsa yang Semestinya

Kemarin ada oknum petinggi keagamaan yang menyoal  desas-desus soal bakal calon kapolri, nada-nadanya soal agama. Hal yang sangat biasa terjadi di dunia yang namanya Indonesia. Pejabat publik apapun akan dengan cepat direspons agamanya apa. Media pun sama saja kalau ada artis berganti agama akan dijadikan pemberitaan berjilid-jilid.

Apalagi ketika berpindah dari banyak ke sedikit, sebaliknya kalau dari kecil ke besar akan dijadikan bahan entah apa namanya, pokonya diulang-ulang dan diwawancarai betapa kecewa orang tua, kerabat, atau penggemarnya. Dibumbui dengan kutukan atau malah sudah menjadi jubirnya Tuhan. Lha agama kan ranah private mengapa segala sesuatu kudu dikaitkan dengan agama.

Jadi ingat lagi, ketika Knival 2016 banyak pemenangnya nonmuslim sampai ada yang berkomentar demikian. Apa juga kaitan agama dengan dunia tulis menulis. Toh ini realitas yang terjadi. Hampir semua  penganut beragama ada yang berpikiran dan berperilaku demikian.

 Hari-hari ini, juga ada orang Katolik yang merasa"tersinggung" ketika salah satu pakaian dan perlengkapan misa dikenakan oleh pendeta Protestan. Konteksnya adalah pemahaman dari umat Katolik, entah apa yang menjadi latar belakang Pak Pendeta itu. Toh juga ada yang meradang, lha kan belum tentu itu sama dengan yang dipahami, bahwa kasula itu yang dikenakan Gilbert Lumoindong.

Kan soal pakaian, asesoris, dan mengapa sudah menglaim itu milik Katolik? Hal  yang hanya asesoris, bukan dogmatis apalagi sebuah kebenaran iman. Begitu saja ribut dan repot. Sesuatu yang sederhana menjadi riuh rendah ketika alam pikir dan budaya memang demikian.

Apa kaitan dengan Sigit sebagai calon kapolri? Ya karena kebanyakan cara beragama kita hanya bicara permukaan, asesoris, hal-hal yang ada dalam pemandangan inderawi semata. Ranah agama harusnya adalah tuntunan hidup. Bagaimana orang membela kebenaran apapun risikonya. Bagaimana malu dan merasa tercela jika kinerjanya buruk, tidak bertanggung jawab, korupsi, atau malah membela kejahatan.

Bangsa ini sudah terlalu lama membiarkan, memberikan toleransi pada yang tidak semestinya. Atas nama stabilitas kemudian memberikan jabatan kepada kelompok tertentu dan menyingkirkan pihak yang lebih kompeten karena atas nama agama, suku, asal-usul, dan banyak  tetek bengek yang tidak berkaitan langsung dengan tugas  dan kemampuannya.

Kapolri itu pimpinan polisi, membantu presiden di dalam menciptakan dan menjaga keamanan. Apa urusannya dengan agama? Kan agama yang dijamin UU sudah ada, semua berhak untuk itu. Lain, jika ia sipil, tentara, atau jaksa. Itu baru menjadi penghalang. Asal kepangkatan sudah memenuhi syarat, pengalaman dan jabatan sudah memberikan bukti bahwa ia mampu mengapa tidak?

Jabatan-jabatan publik, ketika berbicara NKRI dan Bhineka Tunggal Ika ya harusnya pedomannya pada Pancasila dan agama apapun bisa menjadi apapun seperti yang dijadikan dasar kualifikasi, bukan kemudian ditendang karena agamanya berbeda dengan yang mayoritas.

Di tengah upaya mengembalikan nasionalisme, Presiden Jokowi memang sangat berat. Aksi intoleransi dan radikalisme demikian mengakar kuat. Penolakan Sigit pernah terjadi ketika menjadi Kapolda Banten. Tetap dipaksa toh jalan juga. Memang harus demikian, jangan kalah oleh suara yang sejatinya hanya samar itu. Hal yang  terulang ketika Kapolda Jawa Timur juga mengalami penolakan. Hanya suara sangat lemah, toh jika didiamkan akan menjadi-jadi.

Rakyat memang harus diajar untuk dewasa dan bijaksana. Pancasila, nasionalisme, bukan dibangun atas satu dua agama dan suku. Hal yang perlu dibenahi, kapan lagi, dan kebetulan ada pejabat yang memang kompeten, mengapa tidak.

Ini sih sudah kehendak Semesta, ada jenderal bintang tiga, karir bagus, masih sangat muda, dan memang menjanjikan. Susah membayangkan jika ini terjadi dua atau tiga tahun lalu. Apa jadinya. FPI dan Rizieq sudah limbung, saatnya menempatkan profesional apapun latar belakangnya menjadi pejabat di sana.

Ingat, jangan sampai nanti tanpa membaca malah komentar saya rasis dan mendukung karena seagama. Ini bicara soal kapasitas dan kesempatan yang seharusnya sama. Bukan hanya beberapa pihak karena kesamaan ideologi, agama, dan kesukuan kemudian dipilih. Kasihan yang lain.

Waktunya bangsa ini berdiri di atas fundamental nasionalisme, karena dibangun di atas beragam apapun itu. Mau agamanya apa sepanjang diakui negara memangnya salah ketika menjadi apapun itu. Malah sudah selayaknya kalau mengaku demokrasi apapun agama bisa dipeluk warga Indonesia, termasuk tidak beragama. Toh nyatanya beragama masih saja fitnah, caci maki, hoax seolah gaya hidup. Padahal itu bukan lagi mencerminkan ciri agama dan orang beragama.

Fanatik itu boleh asal ke dalam. Ribet kalau keluar apalagi sampai memaksakan kehendak pada pihak lain untuk ikut. Apakah ini utopis? Tidak juga. Lha sebelum reformasi, sebelum 90-an agama itu biasa saja. Becanda agama juga tidak senggol bacok. Mau jadi apa bukan soal agamamu, tetapi kompetensimu  kog.

Bangsa Indonesia itu bangsa majemuk, aneh ketika malah mau menjadi homogen.  Makin baik menempatkan segala sesuatunya pada ranah masing-masing. Harapan  baik untuk bangsa ini.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun