Sepinya Praperadilan MRS dan Usainya Ormas Itu
Cukup menarik apa yang terjadi dengan sidang perdana praperadilan MRS. Sepi dari para pengikut alias laskar. Padahal biasanya sangat jauh berbeda. Biasa dalam hal ini, menyangkut kepentingan mereka atau ketika yang mereka tuntut disidang. Kekhasan mereka itu pengerahan massa. Laik itu dicermati  mengapa tiba-tiba sepi.
Ingatan perlu dibawa kembali ketika sidang Ahok, bagaimana rekayasa persidangan, tempat, dan sebagainya diupayakan agar tidak ada desakan, tekanan, dan pengerahan massa sehingga sangat berpengaruh kepada independensi hakim. Selain tentu saja faktor keamanan dan stabilitas politik yang menjadi pertimbangan masak-masak. Â Itu konteks di mana mereka berkepentingan karena menginisiasi peradilan Ahok. Ada pada kepentingan mengawal apa yang mereka perjuangkan.
Kisah keriuhan kedua ada pada persidangan Bahar Smith. Bagaimana mereka datang dan memenuhi gedung pengadilan. Ini pada konsep kepentingan mereka, atau salah satu bagian dari mereka terkena kasus hukum. Selalu riuh rendah, datang, dan memenuhi sekitaran pengadilan. Bahar Smith ini belum apa-apanya jika dibandingkan dengan keberadaan dan reputasi MRS. Mengapa mendadak sunyi?
Pandemi. Hal yang tidak masuk akal. Mengapa? Mereka mana takut dengan pandemi. Berkali ulang kelompok terlibat dalam aksi dan kegiatan yang bergerombol di masa covid sudah merajalela. Paling pasti, jelas, dan tidak bisa disangkal ya kegiatan penyambutan MRS, acara keagamaan di Petambu-ran, pesta pernikahan putri MRS, dan acara di Mega Mendung. Semua sudah masa pandemi dan aksi tetap saja ada.
Sama sekali bukan alasan karena takut menjadi klaster penyebaran covid. Sudah berlangsung berkali ulang keadaan itu dan mereka biasa saja. Toh aksi demo-demo yang lain susah melepaskan dari pelakunya adalah mereka-mereka ini.
Bohir menarik diri. Ini lumayan masuk akal. Jangan dikira main-main, SKB para menteri dan kepala lembaga ini sangat serius. Ormas terlarang lho, capnya ngeri, setara PKI. Jangan dianggap main-main, begitu pesan yang hendak disampaikan pada akhir tahun yang lalu. Siapa yang mau ikutan terseret dan mau dekat-dekat dengan kebo gopak, takut dekat dengan erbau kotor lumpur.
Pernyataan para penyandang dana jauh lebih sunyi dari pada waktu-waktu yang lalu. Jelas maksud dan artinya, bahwa mereka juga jerih melihat perilaku pemerintah yang maju terus. Pernyataan Kapolda Metro yang mengatakan gas tanpa ada gigi mundur, ternyata membuat mereka berpikir ulang.
Pembekuan rekening ormas terlarang. Ini sangat mungkin. Tidak ada makan siang gratis, sama juga dengan demo. Mau berangkat perlu ongkos, teriak lapar dan haus, pandemi pula. Ketika kas makin tipis, rekening dibekukan, susah bergerak. Massa mana mau jalan tanpa adanya uang dan makan siang. Praktis aktivitas sudah terhenti sejak awal. Operasional selesai.
Penyerahan MRS pun sudah sepi. Keberadaan dan nama besar di tengah massanya sudah surut. Lihat saja ia datang hanya dengan segelintir orang. Pengerahan massa sudah tidak mempan karena pernyataan keras, tegas, dan lugas baik Pangdam Jaya ataupun Kapolda Metro Jaya. Ini tidak main-main. Lihat saja elit-elit mereka juga taat pada panggilan pertama atau kedua, tanpa berani mangkir-mangkir lagi. Berbeda dengan masa lalu yang seolah mereka di atas hukum.
Pencopotan baliho akhir tahun lalu dan kemarin pencopotan atribut, banner, dan plang nama ormas terlarang makin membuat ciut nyali para laskar. Siapa yang berani melawan Polri dan TNI kecuali mereka teroris yang sudah tercuci otaknya. Toh mereka tidak akan memilih mati konyol melawan petugas yang menurunkan baliho dan papan nama misalnya. Tewasnya kolega mereka yang dicoba untuk glorifikasi telah gagal total. Pernyataan Komnas HAM yang sudah mulai tidak menguntungkan mereka, tentu saja membuat elit mantan ormas ini berpikir ulang kali untuk berulah.
Mereka tahu diri dengan kondisi yang memang makin sulit. Salah satunya adalah batalnya tuntutan ke PTUN mengenai pelarangan mereka. Pasti mereka paham dengan baik, bagaimana semua elemen kini sedang bersama-sama memperbaiki keadaan, dan keberadaan mereka tidak ada yang membela sama sekali. Kesulitan mencari pengacara andalan yang sudah memiliki reputasi, seperti Paris Hotman dan Yusril tentu membuat mereka sadar dan tahu bahwa ini adalah kekalahan yang sudah di depan mata.
Kasus demi kasus seolah dibeberkan di depan mata, ada kasus afiliasi DAESH, afiliasi terorisme, penguasaan tanah di luar prosedur, eh tiba-tiba SP3 dugaan percakapan asusila kembali dibuka, pembelaan sepi. Hanya satu dua elit yang tidak berdampak. Rekam jejak mereka berubah haluan juga sangat kental, artinya mereka juga tidak akan percaya dengan pembelaan semu itu.
Harapan baik, bahwa semua komponen anak bangsa sedang bersama-sama menyelesaikan salah satu sumber masalah di dalam hidup bersama, yang bernama ormas, ilegal, intoleran, dan Antipancasila. Susah melihat praperadilan akan dimenangkan HRS, karena melihat alasan-alasan di atas.
Pertunjukan itu pasti ada akhirnya, tayangan akan usai, dan itu memang akan demikian dengan melihat banyak tanda-tandanya. Drama panjang itu kini usai.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H