Posisi sebaliknya, jangan sok-sokan prihatin dengan keberadaan anak atau cucunya yang sedang mengalami kegagalan. Jangan ungkin itu, kecuali diajak berbicara dan meminta pendapat. Mengapa? Belum tentu mereka itu siap menceritakan, atau jika bicara belum tentu pula minta pendapat atau masukan. Jangan-jangan itu hanya mau megeluarkan uneg-uneg. Lha kalau kita ikut bicara kan malah menambah bebannya.
Orang tua itu sudah kenyang dengan asam garam. Pengetahuan kita mungkin banyak, tetapi pengalaman belum tentu. Nah jangan karena merasa pendidikan sangat tinggi kemudian menasihati orang tua apalagi yang sangat senior. Belum tentu klop. Untung kalau tidak disembur dengan ludah merah sirih mereka atau dilempar bakiak.
Melarang atau menasihati sih bisa-bisa saja, asal sesuai dengan kebutuhan dan konteks. Hal itu juga tidak salah atau dosa atau malati. Hal yang lumrah, orang tua bisa juga salah kog dalam banyak kasus. Cara dan modelnya tentu bukan seperti kepada anak-anak, meskipun dalam konteks khusus sangat mungkin seperti menghadapi anak, tetapi tidak akan bisa sama persis.
Di rumah dengan siapa? Padahal jelas-jelas sudah tahu anaknya jauh semua, mereka juga berharap ada yang datang, eh malah ditanya di rumah dengan siapa. Kurang ajar gak? Kadang sepele, spontan, dan seolah biasa saja, tetapi belum tentu bagi yang menjalani.
Basa-basi, membuka komunikasi, menjalin perbincangan dengan orang tua yang kita temui, kunjungi, atau jumpai itu penting. Namun tidak semua hal yang kita anggap baik itu pas dan tepat pula dengan apa yang kita hadapi. Sebenarnya sih tidak susah-susah amat, namun juga tidak gampang ketika memang tidak biasa. Belum lagi, kebiasaan kita, adat kita biasanya berkisar pada keberadaan anak-anak, kesuksesan yang sektarian itu, dan basa-basi lain yang kadang malah membuat orang tua sedih atau malah jengkel.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H