Jokowi Tiga (3) Periode dan Masalahnya
Keberadaan pemerintah ini baru memasuki tahun ke dua. Presiden Jokowi menjalani tahun ketujuh. Masih terlalu jauh sebenarnya bicara wacana tiga periode atau pilpres 24. Toh semakin semarak dan bahkan kencang cenderung panas karena kondisi bebas di mana Jokowi sudah tidak bisa mencalonkan lagi jika UU yang berlaku masih sama.
Wacana ini sebenarnya sudah cukup lama, Nasdem kala itu kalau tidak salah yang mulai menggulirkan, sebelum cenderung berasyik masyuk dengan kandidat lain. Hal yang normal bagi partai politik membuat manufer demi membesarkan partai dan menempatkan uang didikung untuk menempati kursi kehormatan. Dinamika demokrasi yang memang dinamis
Perlu diingat mengapa ada UU pembatasan jabatan aturan ini lahir karena adanya  kekuasaan sangat lama ala Orba. Pemilu memang diadakan namun dengan segala daya upaya mereka mengupaakan tetap menang apapun caranya. Mana ada pemilu dengan raihan suara yang selalu tetap kecuali era Soeharto, Golkar,  PPP, dan PDI. Tidak pernah tidak, demikian terus peringkatnya. Tanpa rekayasa tidak akan bisa demikian.
Kekuasaan bisa sampai 32 tahun karena pembuat UU dan pelaksananya sama, ada di tangan Soeharto sendiri. Jangan harap bisa masuk menjadi anggota dewan tanpa restu Soeharto, termasuk dari PPP dan PDI sekalipun.
Mereka yang ada di Senayan itu sama juga dengan pilihan Soeharto, dilegitimasi dengan "gaya" pemilu. Tidak heran, Soeharto dapat melenggang dan leluasa. Lepas dari sikap dan pilihan represifnya, ini mengulik sisi legal formalnya.
Bicara mengenai perilaku yang dipakai untuk mempertahankan kekuasaan, korupsi yang merajalela, pembangunan yang hanya besar dijargon, dan ketimpangan padahal sudah selama 32 tahun berkuasa, maka para pelaku reformasi merumuskan formula untuk mengurangi potensi kekuasaan absolut, lama, dan otoriter, serta kemudian korup, dibatasilah masa kerjanya hanya dua kali periode. Jika buruk sekali tidak dipilih lagi, sederhana.
Mengapa demikian?
Kekuasaan yang lama akan cenderung menjadi kacau. Mengapa? Orang tidak akan lagi fokus, karena bosan, merasa sangat biasa, dan melakukan semua dengan rutinitas. Waktu yang lama membuat semua seolah biasa, tidak ada lagi tantangan dan menjadi hal yang pokoknya berajalan. Lain, jika itu adalah milik, seperti perusahaan, atau pekerja semata.
Milik pasti akan mengupayakan yang terbaik, padahal presiden dan negara bukan milik. Bahaya jika jatuh untuk dimiliki, hasrat untuk memiliki dan baru berpikir yang terbaik. Semakin lama godaan semakin besar, apalagi negara kaya sumber alam seperti Indonesia.
Presiden itu bukan pekerja yang batas waktunya sampai pensiun, 30-an tahun. Rutinitas itu untuk pemimpin sangat berbahaya, karena bisa menjadi jenuh dan ujungnya bekerja ala kadar. Mana bisa pindah divisi atau departemen bukan kalau kelas presiden? Â Belum lagi nanti benalu-benalu yang mengikatnya, bisa keluarga atau orang-orang khususnya. Ini berbahaya.