Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lagi-lagi Politikus Muda Ini Tidak Masuk Kabinet

22 Desember 2020   18:39 Diperbarui: 22 Desember 2020   23:04 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi Politikus ini Tidak Masuk Kabinet

Presiden Jokowi telah secara resmi mengumumkan penggantian kabinet, esok hari secara sah dilakukan pelantikan. Ada enam nama baru masuk, dua menggantikan posisi yang tertangkap KPK dan empat nama lain muka baru menjabat menteri. Sejak tadi pagi, berseliweran daftar nama-nama, ada yang seolah merombak kabinet, karena begitu banyak nama yang berganti.

Siang hingga sore ada versi lain lagi. Spekulasi itu akhirnya berakhir ketika presiden secara resmi mengumumkan siapa-siapa yang akan menjadi menteri baru dan dilantik pada tanggal 23 besok. Paling menarik itu posisi Menteri Sosial, karena kader PDI-Perjuangan, kena tangkap KPK, sosok yang paling santer menjadi pembicaraan adalah Tri Rismaharini. Harapan publik terjawab sudah dan memang benar masuk.

Salah satu daftar nama yang masuk dalam percakapan media sosial ataupun media percakapan adalah AHY. Ternyata lagi-lagi tidak masuk dalam daftar menteri yang akan membantu Presiden Jokowi untuk hampir empat tahun ke depan. Cukup menarik untuk dilihat mengapa lagi-lagi AHY tidak ikut gerbong pula kali ini.

Pertama, ini adalah soal 24 juga. Sebisa mungkin, PDI-Perjuangan sebagai gerbong utama juga melakukan seleksi. Siapa-siapa yang bisa menjadi rival yang bisa membahayakan agenda pilpres nanti. Ini sangat mungkin dan sah-sah saja. Tidak ada yang salah dengan pola pendekatan demikian.

Padahal pada sisi yang lain, Demokrat sangat mungkin maunya AHY adalah capres atau cawapres. Pengalaman tidak enak dengan SBY kala lalu tetap saja menjadi karang penghalang dalam relasi politis ini. Katanya politik itu cair, tidak ada yang abadi dalam politik, iya, itu sangat mungkin, tetapi tetap saja para pelakunya bisa sangat tertutup pada pihak tertentu.

Kedua, sikap. Ada dua sikap yang sangat jelas terbaca publik bagaimana Demokrat itu menampilkan diri. Partai memperlihatkan diri sebagai oposan utama. Dalam banyak isu dan kesempatan mereka memberikan kesan jelas bahwa di luar agenda pemerintah.

Lihat soal pandemi mereka menghendaki lockdown, padahal jelas-jelas pemeritah memilih dengan pembatasan. Pertimbangan ekonomi dan kemampuan untuk menanggung beban itu tidak mudah. mengenai UU Cipta Kerja, padahal sejak era SBY sudah ada upaya itu. Tiba-tiba mengatakan menolak, dan lucunya itu ada pada penghujung, bukan sejak awal pembahasan.

Itu jelas sikap partai Demokrat yang disampaikan secara langsung, resmi, dan atas nama partai politik. Fraksi di dewan pun demikian. Sah itu sikap partai.

Personal dari para elit Demokrat. AHY berkali ulang menyatakan pendapatnya yang tidak sepemahaman dengan pilihan dan juga kebijakan pemerintah. Selain sama dengan poin partai di atas, juga ada yang berbeda.

Sikap ini terutama diperlihatkan  oleh ketua badan pemenangan  mereka, Andi Arief. Isu-isu terbaru mereka goreng dengan sangat panas. Terbaru mengenai Gibran dan tas bansos. Naif padahal kalau mau berpikir jernih.

Ketiga, independensi AHY sangat meragukan. SBY masih demikian kuat menampilkan citranya. Siapa yang mau percaya dan memberikan jabatan kepada relasi anak-bapak demikian. Lihat  terbaru, pernyataan SBY mengenai covid dari London yang jauh lebih menular. Suka atau tidak, ini adalah upaya SBY mendikte pilihan pemerintah.

Pemerintah itu dilengkapi dengan segala keperluannya dan di bawah UU, ada intelijen, riset, ahli segala ahli. Mereka tentu saja memberikan nasihat dan masukan, sangat kompleks dan luas, bukan semata satu sisi. Mungkin Pak Beye lupa, ini juga berdampak pada AHY dan pihak lain menilai AHY.

Keempat, jelas dan gamblang ia adalah calon presiden dan minimal wakil presiden. Usai kalah pilkada, brand itu lebih gede dan tampak dengan sangat jelas, lugas, dan terus terang ditampilkan. Lupa mengenai kapasitas pribadi dan juga suara partai yang tidak cukup signifikan. Suka atau tidak ini menjadi kendala dan masalah. Rival politik  tidak takut dengan keberadaan AHY dan Demokrat.

Sikap dan perilaku Demokrat dan SBY-AHY ini seperti abg yang pedekatenya menyakiti, meledek, membully, padahal aslinya mau. Padahal Presiden Jokowi tentu tidak lepas dari kepentingan PDI-Perjuangan. Tetap saja konsultasi pada ketua umum dan partai dilakukan dan akan menjadi  pertimbangan.

Oposan itu tidak salah, bagus malah, tetapi ketika masih ngarep dalam kebersamaan tentu akan lebih baik jika komunikasi politiknya diperbaiki. Sikap respek itu juga penting. Ingat menghormati itu tidak hanya klaim, namun juga sikap. Menghadapi isu-isu krusial jelas menentukan seperti apa yang laiknya ditampilkan.

PDI-P sebagai gerbong utama, sangat mungkin tidak rela jika memberikan karpet merah untuk AHY. Mengapa untuk Sandi Mau? Ah bisa menjadi bahasan pada artikel lain. Kondisi masa lalu yang pernah membuat dingin antara SBY dan Mega, pun sikap Sandi selama ini juga masih pada koridor yang lebih cair, lebih mudah untuk masuk, dari pada AHY dan Demokrat.

Lihat juga cara P3 periode kemarin, mereka bisa masuk dengan relatif baik, dan tanpa beban. Berbeda dengan pilihan Demokrat. Mau tapi malu.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun