Vaksin Gratis dan Kemarahan Makelar
Bangsa ini memang suka yang hiruk pikuk miskin esensi. Seorang teman bicara, mana sih temuan negara ini yang kerena, mendunia, saking pesimisnya ia menilai negerinya sendiri. Suka atau tidak memang demikian.  Lebih memilih nyinyiri pendapat, capaian, dan inovasi anak negeri. Bagaimana  negara lain berlomba-lomba menemukan sesuatu sederhana sekalipun dan negara hadir untuk menyokong.
Riset menjadi mati dan bahkan enggan, memilih jadi penyinyir via media sosial karena mendapatkan jaminan reward dalam hal ini uang yang berlimpah. Tidak heran ilmuwan, periset, malah ikut-ikutan permainan politik. Lihat saja dalam kasus pandemi ini, mana yang bisa dipercaya, mengaku ilmuwan, akademisi, kog isinya bertolak belakang.
Satu saja kunci untuk memilih mana yang lebih bisa dipercaya. Konsistensi di dalam menyuarakan kebenaran, siapa saja di balik ia yang bersuara. Itu semua jelas kog. Susah mau mengikuti pendapatnya siapa, karena kecenderungan politis juga kental. Rekam jejak penyuara dan kelompoknya juga penting dilihat, sehingga jelas ke mana arahnya.
Contoh, bagaimana bisa kelompok yang isinya hanya menebar ketakutan, kecemasan, dan perselisihan mau memberikan edukasi yang baik. Lebih-lebih itu berseberangan dengan pendapat umum yang sudah ada dan lebih logis. Benar bahwa pendapat umum belum tentu benar, namun ketika itu lebih logis, masuk akal, dan sudah lebih memberikan bukti baik, mengapa tidak. Salah satu hal, soal masker.
Pilihan untuk berpolemik entah sampai kapan dan bagaimana bisa berakhir. Apapun kog ditolak. Tapi isinya ya itu lagi itu lagi. Politikus kalah tidak mau menerima, gelandangan politik yang tidak laku, pengusung ideologi ultrakanan, dan masa lalu yang tidak sabar untuk kontestasi, pas pilihan padahal tidak laku. Sebenarnya bisa disatukan dalam satu rangkaian kelompok halu saja.
UU KPK berdemo. UU Cipta Kerja demo. Ada pemimpin datang juga show of force, Bos ditahan demo lha kapan kalian itu kerja sebenarnya? Â . Atau demo ini kerjaan? Polemik demi polemik menjadi makanan elit negeri ini. Apapun dipolemikan.
Dulu, presiden siap disuntik vaksin pertama, ngoceh, mengapa presiden, mau rakyatnya mati? Ada tokoh yang mengharuskan presiden dan ketua  DPR, duluan dan diiyakan oleh presiden akan pertama  mendapatkan vaksin. Jadi diam tidak lagi bersuara.
Pun, dulu teriak-teriak, vaksin harus gratis. Presiden mengiyakan, semua gratis, negara hadir dan bertanggung jawab penuh. Eh narasi yang dikembangkan, hutang makin gede. Malah ada tokoh frustasi yang lugu dan aneh menyatakan, KPK harus menangkap Jokowi karena hutang makin gede. Lha hutang sejak zaman kolonial juga, dan koleganya yang menimbun malah tidak dituding karena satu barisan.
Beli produk buatan negara X dan PT Y protes, belum teruji, mau rakyatnya mati. Kalau beli dari negara B PT X pasti juga akan dinyinyiri kemahalan, hutang terus. Lha kapan negaramu makmur Tong, kalau kau recoki dengan aneka nyinyiran tidakkaruan terus menerus.
Tentu bukan soal tidak boleh beda pendapat dan pemerintah itu pasti benar. Bukan. Tetapi proporsionallah di dalam menilai dan bersikap. Seolah kalian pasti benar dan pemerintah salah. Naifnya yang teriak dan klaim pasti benar itu belum memberikan satu bukti kecil sekalipun. Ada Zon, ada Amien, ada Eggy, dan banyak lagi. Â Mereka ini ngerecokin terus. Brisik tanpa henti tanpa solusi.