Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Masih Menjual di Tengah Badai Masalah

9 Desember 2020   21:27 Diperbarui: 9 Desember 2020   21:30 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi dan aneka masalah, telah berlangsung. Pro dan kontra untuk menunda dengan berbagai dalih mau beneran karena pandemi atau politis, toh semua lewat, pilkada telah berlangsung.

Narasi yang dibangun bahwa pilkada akan menjadi  medan penularan covid toh dinegasikan sendiri para kelompok penentang pilkada serentak yang sudah sempat  tertunda karena pandemi dunia ini. Harapannya sih tidak akan menjadi ajang penularan, toh menurut banyak laporang yang berseliweran di lini masa media sosial, kerumunan massa relatif tidak banyak.

Format undangan juga terjadwal, berbeda dengan biasanya yang hanya dibatasi jam buka dan tutup, kini ada pembagian jam untuk wilayah terntentu. Artinya upaya protokol kesehatan dengan ketat diupayakan, dan terlaksana dengan relatif baik.

Ada yang cukup menarik, ketika menjelang pelaksanaan pilkada ini ada dua OTT cukup seksi, plus juga penembakan anggota FPI yang banyak ditengarai akan merongrong suara partai nasionalis, terutama PDI-P karena Presiden Jokowi toh representasi partai banteng moncong putih itu. Semua itu sepanjang hingga hitung cepat dari berbagai daerah tidak menunjukkan hal demikian.

Fakta terhangat tentu saja potensi kemenangan Gibran dan Bobby di dua daerah dengan karakteristik dan kisah perjuangan yang berbeda. Bagaimana hembusan negatif keberadaan mereka berdua dengan aneka serangan untuk membuat mereka takut. Toh semua bisa memenangkan dalam survey dan hitung cepat.

Faktor Jokowi tentu saja ikut berperan besar, meskipun si bapak tidak turun ke lapangan untuk kampanye. Ini masalah melihat kepercayaan dan kinerja Jokowi yang memang moncer dan diyakini akan membawa kedua anak dan mantu ini bekerja dengan pola dan pendekatan yang tidak jauh berbeda.

PDI-Perjuangan baru tiga hari kena OTT, bansos pula, narasi hukuman mati diprediksikan akan membuat suara calon dari partai ini jeblok. Oh tidak sesederhana ini, pemilih rasional belum tercipta. Fanatis pada sosok dan partai lebih kuat dari sekadar noda, ingat bagaimana Demokrat dulu, atau pilpres kemarin. Siapa yang ditangkapi dan siapa yang menang bukan?

Upaya lagi dengan adanya kontak senjata mantan ormas dengan polisi. Narasi yang berkembang jelas saja menyasar kepolisi dan presiden. Ternyata tidak banyak  berdampak. Pembicaraan-pembicaraan rata-rata aman bagi calon yang diusung PDI-Perjuangan, dan juga ada sosok Jokowi di sana.

Peran kinerja Jokowi menjadi kekuatan untuk memilih Gibran dan Bobby, di mana mereka dihadapkan pada posisi yang tidak mudah. Gibran dengan dukungan kursi 75% pun alot, apalagi prosedurnya tidak ia jalani dengan baik. Dukungan terpaksa pun dilakukan oleh Rudy sebagai walikota sekaligus ketua DPC. Jangan anggap ini ringan, bisa berabe jika tidak mampu mengelolanya.

Ditambah dengan penyudutan berhadapan dengan kerumunan Rizieq Shihab. Ternyata tidak banyak berdampak. Sasaran kerumunan langsung menunjuk Solo, padahal banyak juga kerumunan yang lain. Lagi-lagi ini karena prestasi, capaian, dan rekam jejak Jokowi.

Bobby pun tidak semudah yang dibayangkan. Bagaimana menurunkan UAS dari kubu lawan, jelas mau menggunakan apa untuk bisa menggaet suara. Jalan yang  tidak serta merta.

Mengapa mereka berdua khususnya tetap bisa menang meskipun banyak kendala? Rekam jejak dan kinerja Jokowi. Lihat saja pengalaman AHY, Titik, Prabowo, atau juga Tommy Soeharto, mereka terseok-seok padahal ada yang dengan karpet merah. Mengapa? Ya karena rekaman masa lalu bapaknya tidak cukup baik untuk membantu naik.

Pemilih melihat sosok dan tabiat Jokowi. Hal positif yang ada pada pilihan-pilihan Jokowi tentu saja diharapkan untuk bisa mereka lakukan dan kerjakan dengan kapasitas masing-masing.  Ini bisa harapan sekaligus juga beban. Jangan sampai mereka berdua mlendek dan malah mempermalukan Jokowi sang mentor dan sekaligus orang tua mereka yang telah gilang gemilang membangun daerah dan negara ini.

Kini saatnya mereka berdua membuktikan, bukan karena nama Jokowi namun karena kinerja mereka berdua yang moncer dan bisa membuat mereka naik pangkat pada saatnya, gubernur dan siapa tahu menteri dan presiden di kelak kemudian hari.

Hati-hati soal korupsi. Jangan sampai hal ini menjadi noda bagi nama baik Jokowi hingga hari ini. Muda dan belum paham seluk beluk politik, bukan orang partai langsung pula, sangat mungkin dan terbuka untuk "dikerjain", ingat Ahok. Kinerja belum tentu aman kalau tidak mampu mengelola dewan sebagai kepanjangan tangan partai. Ke depan akan makin baik sih, itu harapan juga.

Pembelajaran bagi anak-anak petinggi negeri, jalani dengan  proses dan perjuangan, rendah sekelas kepala daerah tingkat dua, apa salahnya? Jika sukses toh bisa naik jenjang. Kalau gagal bisa untuk belajar lagi dan lagi.

Pesta demokrasi di tengah pandemi telah melakukan pemilihan, menunggu hitung manual, pengumuman, dan penetapan, kemudian pelantikan. Sejarah baru tercipta, ada anak dan menantu presiden menjadi  wali kota. Mau aji mumpung atau apa, itu konsekuensi demokrasi, saatnya menunggu bukti kerja.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun