Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Dongeng] Mangkatnya Imam Bengek Kami

30 November 2020   19:36 Diperbarui: 30 November 2020   19:46 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mangkatnya Imam Bengek Kami

"Inalilahi wainalilahi rojiun....."

Suara lantang dan jelas dari langgar kampung kami, tetapi siapa yang meninggal?

Belum usai satu kali ungkapan duka, suara lebih jauh juga menyuarakan, bertaut-tautan dengan masjid, surau, dan langgar dengan pengeras suara. Nama dan alamat belum ada satupun yang menyebutkan.

Semua akivitas terhenti, kala pengumuman dari banyak tempat seperti ini, berarti orang penting yang berpulang. Jika orang biasa atau kebanyakan, satu pengumuman, atau bahkan tidak ada yang mewartakan itu lumrah. Saling bersautan berarti orang gede.

'Imam Bengek, eh...maaap...maap. Imam Bajuri meninggal," kata Bu Panji sambil mewek.

Panji yang digendongan ikutan menangis meraung-raung  lihat maknya nangis. Tanpa tahu maksudnya tentu saja. Disusul dengan menganak sungai mak-mak pada menangis dan meratab. Bapak-bapak yang lebih rasional menuju rumah Imam Bajuri untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Sebagian menuju ke makam keluarga di mana IB sudah pernah berwasiat, bahwa ia maunya dimakamkan bersama keluarganya. Nenek moyang, bapak-ibu dan kakek-neneknya, ia lajang hingga meninggal.

"Imam Bengekk....." kini si Puji menangisi guru ngajinya.

Anak-anak muridnya memang dipernahke, diajarkan oleh Kyai Bajuri untuk memanggilnya Imam Bengek. Ia menerima kata dan ledekan keji itu dengan hati lapang. Beliau tidak marah anak-anak memanggil demikian. Katanya, itu adalah kata-kata indah dari mulut anak-anak yang tulus dan lugu. Tetapi tahukah siapa penyemat sarkas itu?

Mereka yang tidak suka akan kesederhanaan dan kebersahajaan kyai kampung kharismatis itu. Gaya hidup mewah  yang menggoda banyak pihak, yang terusik kemudian memberikan label Imam Bengek bagi Mbah Bajuri.  Awalnya, kami, para orang tua memarahi anak-anak yang memanggil guru ngaji mereka dengan sangat tidak pantas tersebut.

Imam Bajuri memang nafasnya berbunyi. Ngik..ngikkk...ngik ketika cuaca dingin ekstrem, atau banyak pikiran dan pekerjaan.  Tetapi anehnya, setiap memimpin pengajian, bisa berjam-jam bicara dan bicara. Mengajar anak-anak mengaji, atau memberikan nasihat pada kaum tua, sama sekali tidak pernah terdengar suara nafas dari alim ulama itu.

Ketika ada pejabat daerah mau membawa periksa Mbah Bajuri, beliau menolak dengan sangat elegan, "Tidak perlu, Ngger, ini sudah garis dari Yang Kuasa, biar suratan ini Mbah jalani sebagai laku, kepasrahan bagi hidup Mbah kepada Sang Khalik." Katanya panjang lebar dengan diselingi beberapa kali suara nafas beratnya.

"Ngger, jauhlah sedikit, jangan sampai nanti Panjenengan ketularan saya," katanya pada pejabat itu.

Si Pejabat menjadi rikuh karena telah menutup hidungnya dengan sapu tangan. "Maaf Mbah, bukan saya bermaksud kurang ajar, namun hidung saya gatal dan mau bersin, sangat tidak pantas dan sopan di depan Mbah tentunya," dalihnya sambil merah padam.

Nafas Mbah Bajuri masih sama. Tersengal dan kadang memilukan bagi yang mendengar dan belum terbiasa. Berbeda dengan kami yang telah hidup bersama dengan beliau. Berdiskusi berjam-jam dengan ngopi dan kadang merokok, toh  beliau sama sekali tidak pernah terdengar suara nafasnya. Memang ada yang aneh.

Suatu ketika terdengar pejabat daerah merebut istri anak buahnya. Beliau marah besar, ketika dalam pengajian beliau meluapkan kejengkelannya itu. Muka beliau merah padam, kata-katanya pedas, tajam, dan sangat terus terang. Semua terukur, bukan caci maki, namun mengatakan bagaimana hidup pejabat itu seharusnya. Contoh bagi kalian yang buruk, jangan jadikan itu teladan. Kembali, sama sekali tidak tersengal.

Kami khawatir si pejabat marah, ketika kami bicara beliau mengatakan, apa yang perlu ditakutkan, ketika menyuarakan kebenaran. Tepat dugaan kami, si pejabat marah besar, merasa dipermalukan, laporan kepolisian sudah dilayangkan.

Anak dan istri si pejabat datang memohon ampunan  pada Mbah Bajuri dan membuat laporan perzinahan si pejabat. Kalang kabut karena anak dan istrinya yang membawa laporan dan menjadikan itu konsumsi publik, membuka mata dan hati si pejabat. Ia juga sowan dan memohon ampunan, dan batal  menikahi istri anak buahnya sendiri.

Ungkapan syukur dan terima kasih dari keluarga yang hampir bubar itu, hendak membelikan sawah, ladang, dan membangunkan rumah untuk Mbah Bajuri, namun beliau menolak dengan tegas. Itu adalah kewajibannya, tugasnya, tidak perlu mendapatkan balasan, upah, atau hadiah sebagai gantinya. Itu sudah keharusan sebagai seorang yang dituakan, seorang Imam yang harus menegur yang salah.

Nama beliau makin besar dan melambung tinggi. Pekerjaan beliau selain sebagai Imam adalah sebagaimana warga kampung lain. Ke ladang atau sawah, cukup kecil, peninggalan orang tuanya. Tidak seberapa luas, hanya cukup untuk makan beliau sepanjang tahun. Tidak kekurangan, berlebih juga tidak. Toh beliau bersuka cita dengan itu.

Keteladanan yang perlu banyak pihak ketahui dan contoh adalah, ketika semua swah dan ladangnya tidak perlu penanganan, beliau menawarkan tenaganya untuk membantu tetangganya yang ladangnya belum tertangani. Sebenarnya para warga tidak memerlukan tenaga, namun karena sungkan, toh akhirnya mengiyakan saja. Upahnya tentu jauh dari harga pasar, siapa yang berani kurang ajar bukan? Pemakai jasa dan tenaga IB termasuk para tuan tanah di kampung. Mereka sangat menghormati Imam Bajuri dan memberikan apa saja yang kira-kira bisa membuat  beliau nyaman di masa sepuhnya.

Apa yang dilakukan Mbah Bajuri dengan upah itu?  Beliau bagikan pada anak telantar, janda miskin, dan siapa saja yang membutuhkan. Hanya mau bekerja dan bukan mencari upah yang beliau lakukan.

"Mbah, Budi nanti belajar ngaji pada siapa....." itu tangisan Budi di depan rumahnya, keadaan kampung jadi makin pilu. Tangisan mak-mak dan anak kecil belum berhenti. Saling bersahutan keras karena sedih. Aktivitas kampung pagi itu sontak berhenti. Kehilangan sangat besar, sosok sederhana, teladan, dan juga rendah hati. Komplit, dan layak menjadi teladan bagi anak-anak, pun orang dewasa.

Iring-iringan pelayat dari keluarga pejabat sudah mendekati rumah duka. Kami dengan kesedihan mendalam pun akhirnya ikut ke sana. Larut dalam kesedihan mendalam. IB telah usai dengan tugas dan perutusannya. Hidup kami harus berlanjut dan entah bagaimana nanti.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun