Kekanak-kanakan.
Merasa diri paling benar, paling baik, dan pihak lain harus menghargai, menghormati, dan menjunjung tinggi. Tanpa mau tahu bahwa ada pula yang baik pada sisi yang berbeda. Ini kan khas anak-anak. Lihat anak TK bagaimana, mereka merasa diri paling. Melebihi teman lainnya, tidak ada yang lebih dari dirinya.
Mereka melihat salib gemetar, takut, dan menyatakan ada jin di sana. Tetapi ketika ada kartun saja ngamuk tidak karu-karuan. Ketika pihak lain dinilai menista, kalau mereka menyatakan kebenaran. Selain standar ganda juga kekanak-kanakan.
Merasa terancam, pihak lain menganiaya, pemerintah dzolim, kelompok lain kafir, sesat, tetapi pada sisi lain mereka tukang menganiaya, memaksakan kehendak, dan melakukan persekusi tanpa mau tahu konteks. Lagi-lagi model anak, maunya menang sendiri. Minta permen harus, meskipun sedang sakit gigi dan emaknya tidak punya uang.
Tengok, para penganut cara beragama ini, mereka membuang aqua, di mana air adalah buatan Tuhan. Di mana otak mereka. Berbeda ketika membakar tas, sepatu, atau mobil buatan orang Perancis. Lha air buatan Tuhan, siapa yang mereka bela jika demikian?
Teriak kenceng, tahu masalah tidak.
Ada sebuah tayangan di media sosial, ia menilai kartun yang dibuat Macron menghina. Ada lompatan peristiwa. Pun elit beragama di sini juga demikian. Demi hasrat politis mereka lupa kisah pembunuhan oleh murid kepada guru dan malah menyasar Macron. Jangan dianggap sepele, ini malah mendasar.
Tafsir Sesuai kepentingan dan Reaksi Lebay
Pihak yang ngaco menilai si pemenggal adalah pahlawan. Hal yang berbeda dengan kaum waras, yang menyatakan itu adalah kriminal. Â Bagaimana bisa tafsir bisa demikian jauh bertolak belakang. Ada kepentingan yang perlu dipertanyakan yang membela pelanggar hukum universal.
Soal pengungsi yang terlunta-lunta mereka tutup mata, tetapi ketika si penolong mengeluh malah dipersekusi. Miris.
Sekali lagi ini soal berislam, beragama, bisa juga berkristen, bukan soal Islam, Kristen, atau agama lain, namun mereka yang beragama atau berislam secara kanak-kanak, dalam bahasa Macron krisis. Toh banyak yang dewasa, bagaimana Nudirsyah Husein, Muhamadiyah, dan banyak lagi ulama-ulama yang menenangkan dan menganggap ini masalah justru perilaku biadab. Kuno, model penggal dalam tafsir mereka.