Nikita Mirzani Sebuah Ironi
Ironis menyambut Hari Pahlawan 2020 malah diwarnai dengan kedatangan tokoh kontroversial dan dilanjutkan dengan aksi-aksi yang sangat tidak patut. Hal yang bisa dikupas pada artikel berbeda. Fokus bahasan kali ini ada pada tokoh yang tidak kalah kontroversialnya dengan beda sisi, Nikita Mirzani.
Siapa dia? Tidak perlu dibahas sebagai artis, yang lebih banyak kisah kontroversial, baik dengan sesama artis dan malah kini sering melebar kepada politikus dan tokoh publik. Jauh lebih menarik membahas kiprahnya pada poin ini. Ketika ia menabrakan diri pada tokoh publik yang ia pandang tidak patut.
Wajar kini ramai-ramai mengangkat tagar, #saveNikita, atau #sayabersamanikita. Mengapa? Ia berulang kali membuat politikus kelas elit mati kutu. Karena melawan bukan lawannya, tidak dilawan juga memanaskan kuping.
Fadli Zon benar-benar mati kutu, jauh lebih malu dari pada pemain belakang dikolongin Messi. Sama sekali tidak bisa melawan, wong percuma juga. Di laporkan  polisi mana takut, penjara pernah ia jalani dan itu benar dilakoni, bukan meterai dan bebas. Poin ini yang membuat orang tidak berdaya.
Kali ini, ia menyenggol bos senggol bacok. Kemarin, dalam pembicaraan media perbincangan, saya mengatakan kali ini berbahaya, berbeda karena bukan Zon yang realistis dan rasional tentunya. Menghadapi Nikita sama juga mati konyol. Kali ini jauh berbeda, dan benar. Ancaman pengepungan 800 orang dan makian di media sosial telah terjadi.
Dukungan dan menyatakan ada di belakang Nikita Mirzani itu adalah ungkapan kelegaan, bahwa masyarakat seolah terwakili, sehingga si tokoh, dulu Fadli, kini Rizieq itu tidak berdaya. Mati kutu, dan akhirnya ngamuk tidak karuan, seperti apa yang ditunjukan Maher. Itupun jika mau sedikit saja menengok ke dalam diri, ia malu.
Beberapa hal yang layak dilihat,
Nikita Mirzani tahu dengan persis, citra dirinya, gambaran buruk dan jelek yang ia jadikan kekuatan, bukan dengan menampilkan citra baik-baik saja, baik baju, pakaian, dan cara berkata-kata. Â Ini justru yang menjadi kekuatannya. Mau dinilai jelek, baik, atau apapun tidak lagi peduli. Pakaian yang bagi sebagian pihak dinilai buruk, toh ia tidak bantah atau ia dukung. Apa adanya.
Padahal pada sisi yang berbeda, santapan yang ia sasar sangat bertolak belakang dengan itu semua. Bagaimana Rizieq tidak berdaya dengan pernyataan Nikita, pun Fadli. Karena percuma juga diladenin, dan jika ada yang meradang dan menjawab itu karena justru masuk perangkap dan ujungnya kekerasan.
Posisinya yang lebih enak, ia perempuan, tokoh cukup populer, Muslim pula. Bayangkan jika  yang bicara itu Dona Agnesia, atau malah Asmirandah, habis pasti. Sangat banyak yang memikirkan yang sama namun tidak memberikan dampak yang signifikan, dan mungkin malah bisa-bisa berujung pada mati konyol, minimal benjol.
Menyaksikan bagaimana Rizieq itu tersudut karena pernyataan yang memang benar adanya. Mau diseret seperti Ahok, toh tidak berdampak. Mau dibiarkan mulut lemes Nikita makin pedas. Ya wajar Maher ngamuk dan mengancam dengan 800 laskar. Apa yang terjadi?
Makin dibuat malu dengan pernyataan  lanjutan, 800 laskar hanya menghadapi satu perempuan. Makin panas tapi lagi-lagi tidak berdaya. Ini sama juga dengan Messi menghadapi pemain tarkam, malah binggung sendiri. Langkah cerdas yang dikalahkan dengan asal-asalan.
Maher, Rizieq, dan Zon, menampilkan citra diri baik, saleh, suci, elit, pemimpin dan diserang dengan telak oleh Nikita yang citra dalam pandangan Maher dkk itu buruk, murahan, dan sangat mungkin hina. Itu bukan dibantah malah, namun dibalik dengan tepat oleh Nikita, bagaimana mereka-mereka yang merasa diri suci itu perilakunya selama ini.
Apapun prestasinya, sehebat apapun capaian orang, ketika belang paling dalam itu terkuak sedikit saja akan diam seribu bahasa. Itu yang waras. Pihak yang sumbu pendek senggol bacok, mirip orang bisulan disentil. Ngamuk, Â ngancam, dan menutup rapat-rapat aib itu.
Citra itu akan tampil ketika kata, perbuatan, dan pakaiannya sejalan, satu saja slewah, sudah akan menjadi olok-olokan. Apakah orang suka akan cara berpakaian tertutup atau terbuka? Tentu bukan itu titik pentingnya, namun bagaimana ada konsistensi dari orang berkata-kata, berbuat, dan apalagi jika menyangkut cara berpakaian.
Orang bersorak karena merasa bahwa apa yang mereka pikirkan, mereka rasakan, namun tidak berdaya itu ada dalam diri dan pernyataan Nikita. Tentu publik melupakan bagaimana reputasinya kala banyak kasus dan skandal. Fokusnya pada sisi menyerang pada pihak yang hendak diserbu namun tidak tahu cara yang bisa menohok dengan sangat telak.
Miris ketika membangun citra dengan pakaian, kutipan ayat-ayat suci, disliding dengan telak hanya oleh orang yang justru tidak dianggap oleh mereka. Bayangkan coba jika yang mengatakan itu Quraish Shihab, apalagi Kardinal?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H