Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

JK, Rizal Ramli, Etika Politik dan Media Sosial

8 November 2020   13:25 Diperbarui: 8 November 2020   13:37 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

JK, Rizal Ramli, Etika Politik dan Media Sosial

Miris membaca dan mengikuti pernyataan soal SBY oleh Rizal Ramli. SBY pelit, tidak akan mungkin mau mengeuarkan dana 100 M, sebagaimana kata Jokowi dan Luhut. Hal yang sangat tidak elok dan malah cenderung memalukan bagi orang-orang sepuh alias manula.

Eh malah berlanjut kembali, kali ini bersama dengan JK saling berbalas pantun. Konon JK yang menghalangi Rizal Ramli menjadi menteri pada dua jabatan presiden, ketika JK menjadi wapres. La faktanya ketika SBY bersama Boediono juga tidak dipakai, pun ketika digunakan kinerjanya begitu-begitu saja.

Soal kapasitasinya ya memang segitu, untuk menjadi akademisi, pengamat, apalagi pegiat media sosial sih masih wajar. Mungkin level penasihat, bukan eksekutor dan koordinator. Semua orang ada kapasitas, kemampuan, dan tempat masing-masing.

Jika buka-bukaan antara JK dan RR mereka berdua sih terserah, namun ketika menyangkut Jokowi dan SBY itu yang sangat tidak elok. Apalagi jika menyangkut kepribadian pemimpin dan juga mantan pemimpin. Sangat tidak elok dan patut.

Saya banyak tidak setuju dengan cara bertindak SBY, toh ketika pernyataannya yang menilai pelit itu sangat tidak layak dikatakan sekaliber RR. Apalagi itu berkaitan dengan pembicaraan Jokowi yang mendapat informasi dari Luhut. Bagaimana konon data intelijen, eh dibeberkan begitu seperti obrolan angkringan saja. Di sini hal yang sangat tidak layak dan sepatutnya. Itu konsumsi sendiri bukan pulik.

JK yang mengatakan RR tidak terima diganti dan ditinggalkan oleh Jokowi dengannya di istana. Lagi-lagi tidak pantas. Pribadi sepuh, dua kali wapres, kog hal ecek-ecek begitu dikatakan pada ranah publik. Itu bukan hal yang mendasar dan rahasia, namun tidak sepatutnya mempermalukan kolega. Aksi dan reaksi memang. Namun apa bedanya dan mana lebih dewasa jika demikian.

Soal blok Masela yang terhambat. Hal yang  baik sih dikatakan, tetapi mengapa ada juga yang disembunyikan. Ketika akhirnya diputuskan dengan pertimbangan hanya itu. Mengapa tidak seluruhnya diungkapkan. Sama-sama dalam rapat kabinet.

Ini penyakit baru, usai SJW seolah menjadi gaya baru dalam bernegara. Eh kini malah elit yang menjadikan media sosial untuk "berkelahi". Ya sudah terima saja, sebagai bagian dari demokrasi.

Aneh dan lucu sebenarnya, Jokowi tanpa pernah mengungkapkan apapun yang ia rasa. Bahkan yang menyasar pribadi Jokowi pun diam saja. Tanpa sepatah katapun terucap. Ini pemimpin. Lihat menghadapi menteri dipecat dan menjadi-jadi seolah oposan yang lebih segalanya, toh diam saja tapa menjadikan itu polemik.

Apalagi jika berbicara keluarga dan pribadinya, Jokowi diam saja. Melapor polisi pun tidak. Patut dan layak dicontoh, padahal lebih muda. Atau karena masih menjabat? Tidak, ini soal karakter. Pilihan dan sikap dasar yang bisa dilihat rekam jejaknya.

Permainan politikus. Miris sebenarnya, jika politikus menggunakan pengetahuan yang masuk ranah rahasia, personal, kemudian demi kepentingan diri dan kelompoknya dimanfaatkan dengan cara ekspolitasi dengan tanpa mengingat kepantasan. Hal yang bagi politikus dulu tidak elok, kini menjadi santapan empuk.

Media sosial yang memiliki banyak kelonggaran. Berjarak, kemudian bisa bicara sesukanya, terutama barisan dan kelompok tertentu. Pengalaman selama ini membuktikan demikian. Peran media sosial, lagi-lagi SJW juga terlibat dalam keberadaan cara berpolitik dan berpolemik gaya baru ini.

Hukum yang masih timpang. Beberapa pihak aman-aman saja ketika berkisah dan menuding sana-sini dengan perlindungan sesuatu. Menebar terus menerus banyak hal dengan dalih agama atau kelompok tertentu melaju tanpa halangan. 

Ekonomi, pemilik kanal atau media melihat peluang besar untuk bisa mendapatkan pundi-undi dollar. Nah demi penonton, mereka ini akan dengan senang mengundang polemik dan kemungkinan skandal yang bisa menarik perhatian. Motivasinya cenderung bisnis dan keuntungan ekonomi, bukan politik apalagi kebaikan negara.

Panggung 2024. Masih sangat terbuka lebar. Jauh-jauh hari satu demi satu mulai menekan pihak lain untuk jangan menjadi besar. Kali ini menyasar JK dan RR, makin hari akan makin melebar dan melibatkan banyak pihak. Sejatinya sah-sah saja sih, tetapi tampilkanlah dengan prestasi dan capaian, bukan saling jegal dan jejak demi hasrat sendiri.

Apa yang tersaji itu banyak yang tidak elok. Apalagi pelakunya generasi old, bukan anak-anak milenial yang tidak perlu bicara ranah etik secara ketat. Eh malah generasi 40-an dan 50-an yang terlibat dan seolah baik-baik saja.

Pertarungan dan bertarunglah sendiri, jangan membawa-bawa pihak lain di dalam perserteruan itu. melibatkan SBY, Jokowi, Luhut, atau siapapun sangat tidak elok. Mosok harus mengaitkan diri pada tokoh-tokoh lain untuk menapaki jalan sendiri.

Tanpa kesadaran bersama, akan makin banyak dan seru namun saru pertarungan 24 nanti. Janganlah bermain dengan pola seperti itu, lebih banyak cara yang lebih baik dan elegan untuk bertarung dalam level tertinggi. Mosok mau jabatan tinggi, mainnya ecek-ecek.

Jangan lupakan ranah etis dalam segi politik. Selain tidak elok, nanti jadi rujukan bagi generasi berikut untuk bermain dengan lebih buruk lagi.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun