Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ke Mana Jokowi?

4 November 2020   20:13 Diperbarui: 4 November 2020   20:36 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ke Mana Jokowi?

Dua  hal besar dan penting sedang terjadi. Respons atas tanggapan Macron yang makin meliar di negeri ini, dan mengenai UU Cipta Kerja. Keduanya begitu menyita perhatian dengan trik dan intrik masing-masing. Mirisnya keduanya juga dipakai barisan entah apa namanya, oposan tetapi toh bukan parlemen dan juga parpol. Kalau boleh memakai istilah kelompok waton sulaya.

Apapun pokoknya Jokowi turun dan ganti. Di balik itu semua apa? Ya kepentingan masa lalu yang terganggu. Mafia demi mafia, pengaruh luar negeri yang merajalela dipangkas, dan juga birokrat malas yang harus kerja keras. Hal yang membuat kenyamana sekelompok pihak terenggut. Rakyat yang merasakan perubahan baik itu kalah corong dengan segelintir elit yang kesulitan memenuhi maruk mereka.

Jokowi begitu tegas, trengginas, dan mana duli dengan apapun mengenai Omnibus Law, semua dilakukan. Tekanan publik apapun macamnya tidak ambil pusing. UU Cipta Kerja sudah berlaku dengan sah, sesuai dengan Hukum Tata Negara.

Lihat saja demo berhari-hari dengan risiko penularan covid tidak menjadi penghalang dan ketakutan bagi Jokowi. Melaju dengan fokus dan pada gagasan dasar untuk menyederhanakan banyak hal yang berbelit. Beragam narasi yang ada untuk menggagalkan RUU ini kalah dengan ketegasan dan fokus menatap cerahnya bangsa ini.

Salut dan keren. Ancaman mogok, tekanan publik untuk mengepung istana, kepala daerah beramai-ramai bersurat dan berpihak pada buruh. Semua tidak didengarkan. Abai akan apapun demi bisa sahnya UU. Luar biasa fokus dan konsentrasi penuh dengan hal ini.

Mantan presiden keenam pun bersuara kencang, dan lagi-lagi ada pada barisan penolak yang tanpa tahu esensi dan isinya dengan baik. Malah ditinggal nonton bebek.

Tetapi...

Itu semua hilang tanpa bekas ketika berhadapan dengan aksi dan tindakan intoleransi. Bersamaan dengan kegaduhan Cipta Kerja ini, narasi para pengasong demo adalah soal Macron. Benar Jokowi mengutuk Macron, jelas ini adalah upaya untuk meredam aksi ngaco kelompok ini lebih kenceng, ngawur, dan memalukan. Masih bisa dipahami, demi tujuan lebih gede, okelah mengalah untuk menang. Namun, apakah itu demikian adanya?

Bagaimana suara intoleransi sudah mengoyak Yogja dengan penolakan ucapan Natal. Ini sekali lagi bukan soal ucapan, tidak penting dan tidak butuh ucapan itu, namun bagaimana keberagaman bisa semena-mena dibungkam atas nama kelompok yang banyak. Sama sekali tidak bersuara, berbeda ketika menghadapi kata-kata Macron.

Eh dari Madura juga ada anjuran untuk menyeleksi produk Perancis. Benar sudah mengatakan tidak ada boikot-boikotan, tetapi  tidak ada kecaman atas aksi birokrasi di bawahnya. Toh bisa memerintahkan menteri terkait untuk menindak model demikian.

Sama sekali tidak ada. Belum lagi jika berderet panjangnya mengenai aksi intoleransi di negeri ini. Mirisnya, banyak elit  yang mabuk dan menglaim diri paling toleran, memaksa Macron meminta maaf, meminta Macron belajar bertoleransi. Kog tidak malu. Ketika negeri ini compang-camping atas tindak intoleransi oleh segelintir orang dan kelompok sebenarnya, namun mana mereka yang meneriaki Macron berada?

Benar Jokowi kuat menghadapi hinaan pada dirinya, namun sebagai kepala negara, jangan menyamakan rakyatnya yang juga banyak dengan kebhinekaan itu belum tentu sekuat dirinya. China dicaci maki, dijadikan kambing hitam, mengapa Arab, India, atau bule sama sekali tidak pernah dijadikan sasaran, sama sekali tidak pernah ada dukungan.

Pun agama-agama yang kecil itu, sudah kenyang dengan cacian, makian, dan tudingnya ngawur, tafsir sepihak, ketika sedikit saja disenggol langsung bacok. Setuju bahwa menghadapi anak-anak itu harus banyak mengalah, namun ketika anak itu mulai beranjak dewasa namun terkungkung pada jiwa kerdil bayi, ya bisa membuat pihak lain juga meradang.

Bayangkan saja ada anak gede namun berperilaku kolokan, manja, namun nyolot, bisa ada yang tidak terima dan ditempeleng. Ini bisa menjadi mulainya malapetaka.

Posisi Jokowi memang sulit, dilematis, dan susah. Tegas dikit kena antiagama, pemerintahan dzolim, ini semua karena sejak awal membiarkan mereka bebas menarasikan sekehendaknya sendiri. Ini negara hukum. Boleh Jokowi sebagai pribadi menilai itu tidak penting, namun tertib hukum harus ditegakkan.

Merajalela, ketika 10 tahun menjadi anak manja yang semau-maunya karena pemimpin lembek, eh enam tahun dibiarkan karena dianggap tidak penting, namun mereka mengartikan pemerintah takut. Jangan salah, mereka ini musang berbulu serigala, jadi tampang sudah berbahaya, apalagi perilaku. Menggunakan kekuatan massa dan berkedok dengan agama demi hasrat dan nafsu kekuasaan dan keuntungan finansial.

Menanti ketegasan Jokowi sebagaimana mengawal UU Cipta Kerja di dalam menekan aksi intoleransi. Lha menghadapi teroris dan ancaman bom saja berani, mengapa gagap menghadapi FPI dan geng mereka?

Paham bahwa mereka memanfaatkan kepicikan dan mabuk agama di dalam aksi mereka, tetapi miris ketika banyak elit sulit ini merajai media sosial dan berteriak-teriak seolah paling benar, dan menjadikan itu sebagai panggung mereka. Pemerintah takut pada mereka. Mengerikan, perlu tindakan keras, tegas, dan terukur, kan sudah menyatakan periode kedua tidak lagi mempunyai beban.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun