Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Noktah di Balik Gemerlap Setahun Pemerintahan Jokowi-KHMA

22 Oktober 2020   20:17 Diperbarui: 22 Oktober 2020   20:19 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Noktah di Balik Gemerlap Setahun Pemerintahan Jokowi-KHMA

Selamat kepada Presiden dan Wapres RI, atas setahun mengemban amanat rakyat, makin sukses du tengah pandemi dan kondisi demokrasi berisik. Konsekuensi demokrasi yang masih latihan, apalagi dengan kondisi strategis bangsa ini.

Di tengah kenangan satu tahun kinerja, presiden dan wapres tentu tidak mengingat itu sebagai sebuah peristiwa besar dan penting. Bekerja dan terus melaksanakan tanggung jawabnya. Memang banyak momen yang dijadikan sebuah ucapan atau peringatan tidak resmi ala media dan media sosial.

Penghargaan cukup  besar dari UEA yang menghadiahi jalan dengan nama Presiden Joko Widodo, dan menyusul pembagunan masjid dengan nama yang sama. Tentu sebuah apresiasi besar, sama dengan Presiden I RI Sukarno yang menjadi nama jalan di Maroko. Ada pula patung diri Sang Proklamator di Aljazair. Di tengah deraan dan cacian dari sebagian kecil anak negeri, malah mendapatkan penghargaan luar biasa.

Penolakan atas proposal dari Amerika Serikat untuk menjadi pangkalan militer. Ini jelas sebuah keberanian luar biasa. Melihat reputasi Amrik di dalam menekan negara yang tidak mau tunduk kepada kepentingan mereka. Toh konsisten dengan pilihan politik bebas aktif, bukan ikut blok sana dan blok sini. Sebuah pilihan berani, cerdas, dan berkarakter. Keren.

Peresmian pembangunan dan proyek infrastruktur masih terus berjalan. Hal yang kembali perlu dilihat bagaimana tanggapan sebagian pihak. Mereka mengatakan rakyat tidak perlu dan tidak makan semen. Mirisnya mereka juga menikmati efisiensi dan efektifnya jalan tol dan pembangunan infrastruktur lainnya.

UU Omnibus Law, begitu banyak dukungan dan survey pun memberikan data yang sebanding. Hanya sebagian kecil yang menolak namun mereka menyukai dengungan luar biasa melalui aksi dan demonstrasi. Hal yang miris, ketika di tengah kepercayaan negara-negara dan dunia internasional, eh malah anak negeri sendiri seolah mencibir.

Pemerintah Jepang datang, itu sebuah kepercayaan dan penghargaan, betapa negara ini dipandang dengan penghormatan. Malah banyak anak negeri yang mengancam ini dan itu. Kan hal yang memilukan sejatinya.

WHO, akhirnya memilih dan menyatakan lock down itu tidak tepat guna untuk menangani pandemi. Perlu kita ingat, bagaimana awal pandemi hinggap di negeri ini, pemaksaan untuk memilih LD, dan bahkan dengan sinis dan sadis mengatakan, nyawa rakyat dipertaruhkan demi ekonomi. Padahal siapa sih yang mampu menanggung hidup 260 juta rakyat.

Sikap dan perilakunya pun antara korup, tamak, dan tidak tahu diri tumpang tindih. Ketika WHO mengatakan gagasan Jokowi lebih tepat, memang tidak secara terus terang demikian, toh semua pada diam. Mana yang dulu teriak kenceng ataupumn bisik-bisik?

Di tegah hingar bingar itu, toh ada noktah, di mana pemerintah ini gamang dalam beberapa hal;

Pertama, tekanan massa. Bagaimana penolakan RUU menjadi UU paling tidak ada tiga kali pengerahan massa. Gamang ketika kolaborasi agama, politik, dan hukum terjadi. kesuksesan orang-oran tertentu menekan dalam kasus Ahok diulang-ulang. Miris sebenarnya.

Aksi  intoleransi. Dalam segala bentuk, pemerintah sering tidak hadir, atau telat hadir sehingga timbul keresahan yang tidak bisa dianggap sepele. Miris sebenarnya jika terus menerus demikian. Lagi-lagi gamang  ketika menyangkut agama, politik, dan hukum. Penyelesaian cenderung politis dan mengandalkan lupa.

Kisah panjang radikalisme, korupsi, penegakan hukum masih memprihatinkan. Hal yang seolah masih jalan di tempat. Bisa dicek sendiri seperti apa yang terjadi.

Nah ketika mempersiapkan artikel ini, ada rekan dalam media percakapan yang mengisahkan gagak dan elang. Hanya gagak yang berani mematuk elang. Sikap dan tanggapan elang adalah membiarkannya saja dan ia terbang lebih tinggi.

Gagak yang merasa mendapatkan angin mengikuti naik terus, namun perbedaan organ tubuh membuat gagak mati lemas karena tipisnya oksigen di atas sana. Hal yang tidak disadari gagak. 

Elang tidak memberikan energi bagi gagak yang tidak sepadan. Ia, si elang  menaikan level dirinya untuk naik terus dan akhirnya mengalahkan gagak tanpa perlu banyak energi dan perhatian untuk itu.

Sangat mungkin pemerintah memiliki prioritas, bagaimana menghadapi aksi intoleransi, dan penegakan hukum itu akan serta merta hilang ketika kesejahteraan meningkat. Sangat mungkin, sama dengan ketika membiarkan gejolak harga BBM sesuai mekanisme pasar dan akhirnya toh biasa.

Risiko demokrasi memang akan riuh rendah, apalagi tabiat dan budaya kita memang lebih cenderung banyak omong. Nah hal ini yang sering dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang mau mengail di air keruh.

Jangan dikira bangsa asing suka cita jika bangsa ini kuat, besar, dan stabil. Mereka mengintai untuk mendapatkan keuntungan. Mirisnya banyak anak negeri yang malah ikut terlibat di dalamnya. Seolah tidak sadar, toh sebagian juga sadar dimanfaatkan pihak lain untuk menjadi kaki tangan mereka.

Selamat kepada Jokowi-KHMA, berkat melimpah atas kinerja dan kepemimpinannya. Catatan dan noktah yang memang harus dilalui.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun