Koppig Kontekstual
Keras kepala yang sangat mungkin  diperlukan, bagaimana menghadapi gelombang penolakan, namun tidak paham maksud, atau asal demo, sama juga ketika menghadapi tekanan luar atau asing. Lihat kini Amerika malah memberikan visa dan mengundang Prabowo. Itu karena keras kepalanya Jokowi dalam menghadapi diplomasi Amrik yang kadang ngaco.
Mereka butuh Indonesia dengan segala keunggulannya. Jokowi takut dan tidak koppig, Freeport msih jadi bancaan, Omnibus sudah batal. Sekelas MUI saja datang dan jelas ditolak bukan karena tidak hormat, namun salah alamat. Kini waktunya ke MK, bukan di jalanan, bukan pula surat atau datang.
Bersikukuh pada prinsip, kepentingan yang lebih gede, makanya tidak memberikan waktu dan energi untuk sekadar caci maki. Pembelajaran yang tidak cukup diterima oleh anak bangsa ini, yang memang masih suka yang hiruk pikuk, pokok ramai, meskipun tidak berdampak.
Bangsa penyuka kerupuk, riuh rendah dan ramai dianggap sebagai keberhasilan, padahal ada falsafah dan peribahasa yang lebih pas, di mana tong kosong nyaring bunyinya. Bagaimana bangsa ini ramai namun kosong aslinya. Salah satu Kner, Cheppy Hakim, dalam kolom, kini naik kelas menjadi pengisi Kompas, mengatakan jika seperti ini terus, jangan sampai bisa maju, menjadi sebagaimana impian Jokowi.
Keberanian menentang arus demi kepentingan bangsa dan negara, lihat pembangunan yang masif, padahal dikatakan rakyat tidak makan semen, keberanian membangun perbatasan, menaikan TDL dan harga BBM, itu semua tanpa keras kepala tidak akan mungkin.
Tanpa memilih jalan terjal dan jalan sulit, Jokowi akan diarak dengan hingar bingar, namun bangsa masih sama saja, menjadi bangsa yang tidak punya nyali di luar ataupun di dalam. Memang menghadapi aksi intoleransi dan segelintir pencaci masih ragu, mungkin dianggap tidak signifikan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H