Mengapa Gatot Nurmantyo?
Perihal KAMI itu bumbu dan konsekuensi atas hidup demokrasi. Semua mendapatkan jaminan atas apapun oleh UU dan UUD Â bahkan. Pro dan kontra, ada yang sinis atau memuji itu hak demokrasi. Tafsir dan akhirnya adalah moral atau etik yang akan membedakan. Waktu yang memberikan bukti mana yang seharusnya ada dan mana yang tidak.
Mau dinilai buruk atau jelek, namanya alam demokrasi, toh ada pula pendukung dan pemujanya. Sekali lagi ini soal alam demokrasi, masih belajar pula. Semua harus dilalui sebagai sebuah proses. Hal yang tidak patut dan layak itu, ketika memaksakan kehendak dan menerapkan standart sendiri bagi pihak lain. Orang atau kelompok harus setuju, mau mengikuti pendapatnya, kalau tidak dianggap musuh.
Keberadaan KAMI hal yang masih dalam koridor demokrasi, pantas atau tidak itu silakan dimaknai sendiri. Sepanjang aksi dan katanya perjuangannya itu banyak yang menilai positif, mengapa tidak? Beberapa kali memang melanggar protokol kesehatan, dan itu berarti tanda-tanda yang tidak semestinya.
Jika memang bertujuan baik dan mulai, tentu tidak akan membahayakan siapapun. Risiko dipikirkan dan dijalani yang paling minim. Benar mereka deklarasi dan kemudian demo itu hak, jangan lupa ada kewajiban menjaga kesehatan dan kehidupan pihak lain. Hak dikedepankan abai kewajiban, artinya apa? Sumangga dimaknai. Â Hidup dan kesehatan lho mana lebih penting? Ketika seremoni bisa daring pula.
Itu keberadaan KAMI, kini coba mencermati salah satu elit dan deklarator KAMI, Gatot Nurmantyo, ada beberapa hal menarik yang layak dicermati,
Pertama, inkonsistensi atas sikap dan pernyataannya. Ada beberapa hal yang saling kontradiksi di dalam sikap dan ucapannya. Mendukung demo penolakan atas UU Ciptakerja pada awal bulan. Namun pada tengah bulan, ketika banyak pengurus KAMI ditangkap kemudian buru-buru mengatakan UU Ciptakerja adalah UU yang sangat mulia. Lha kalau mulia mengapa harus didemo untuk ditolak?
Inkonsistensi berikutnya, masih berkaitan dengan penangkapan tokoh KAMI, ketika banyak tersebar ledekan atau meme Gatot ke mana, atau Gatot kabur, ia menuju Bareskrim dan sempat bersitegang di sana. Tidak lama kemudian ia mengatakan, jangan khawatir, Â mereka adalah pejuang, bukan karbitan. Jangan kasihani mereka, ini adalah konsekuensi yang telah dipikirkan masak-masak.
Ah yang bener, lha mengapa banyak tudingan dan desakan untuk membebaskan juga tidak mendapatkan teguran, atau menyatakan, biar saja mereka, itu adalah konsekuensi logis atas perjuangan.
Paling ideal lagi, jika ia berani mengatakan, tidak ada prajurit salah, yang ada adalah jenderal atau komandan yang keliru. Berani atau tidak? Jika ia, jempol lima untuk Anda. Itu baru perjuangan dan itu adalah ksatria unggulan.
Kedua, tidak berlebihan jika menggunakan ungkapan perjuangan dengan menggunakan berbagai-bagai isu yang terjadi. Apa yang  katanya perjuangan itu masih sumir, ketika tema yang diusung berubah, sesuai keadaan. September dengan komunis dan PKI. Ini pun inkonsistensi telahia buat. Bagaimana ia sebagai panglima TNI tidak ada sekalipun bunyi komunis berkumandang. Lha apa komunis dan PKI lahir usai ia pensiun? Hayo, coba cerna.