Awalnya, merasa biasa saja, tidak menaruh perhatian soal PMKRI ikut turun ke jalan. Sama juga dengan melihat pro-kontra biasa. Berubah ketika di media sosial, salah satu teman dalam media sosial itu menanyakan kapan membahas "peran" PMKRI. Eh malah kemudian melihat aksi dan reaksi dari aneka macam mengenai "kiprah" PMKRI.
Menggunakan kata Katolik, berarti perlu bahkan harus taat pada komando dari hirakhi Gereja, dalam konteks ini tentu saja KWI. Ada nama dan label Katolik berarti harus taat dan setia pada keputusan, reaksi dari KWI, jika tidak, artinya pendapat pribadi.
KWI sama sekali tidak memberikan tanggapan, respons, dan apalagi ikut-ikutan mengecam keberadaan UU yang baru. Pro-kontra itu biasa dan bahkan baik. Nah KWI sebagaimana Gereja Universal itu sangat biasa memikirkan dan melihat dengan sangat lama, karena perlu melihat dan mengamati dari berbagai-bagai sudut. Mengapa?
Umat Gereja itu ada yang buruh, ada yang pengusaha, jika bicara soal buruh dan pengusaha terlibat di dalamnya. Semua adalah anak-anaknya, yang harus dilindungi dan dibela. Semangat cinta kasih sangat mungkin menjadi lamban. Berkaitan dengan yang lain-lain, isi UU ini banyak, bukan semata perburuhan.
Gereja membawa cinta kasih dan keadilan, jika hanya membela bak babi buta pada buruh, anaknya yang lain berperan sebagai pengusaha tentu akan meradang dan marah. Pun posisi Gereja kadang jadi pengusaha, ketika membayar karyawan. Sudah bukan saatnya upahmu besar di surga lagi. Artinya profesional, bekerja di Gereja, karyawan Gereja juga dibayar layak.
Posisi Gereja jelas sangat  tidak mudah, dan keterpihakan bukan karena politis, namun benar-benar dengan melihat persoalan dengan jernih dan semakin luas cakupan pandangannya. Tentu tak hendak membandingkan dengan petinggi atau pegiat agama atau ormas lain, itu hak mereka, dan tidak bisa menggunakan kaca mata yang sama.
Nah PMKRI patut berlaku dan menantikan, bagaimana Gereja menyikapi ini semua. Memang tidak akan bisa cepat, dan benar bukan, kini pandangan banyak pihak juga berubah. Baik dan benar melakukan aksi asal dengan pertimbangan masak dan matang, bukan ikut-ikutan, dan pada ujungnya berasal dari hoax pula.
Ajaran Sosial Gereja mengatakan, buruh boleh melakukan demonstrasi dan mogok kerja, jika itu adalah jalan terakhir. Sangat dimungkinkan dan dilandasi ajaran dari Gereja Universal untuk itu, namun ingat, jalan terakhir, ketika semua sudah mentok. Lha ini, UU-nya saja belum sepenuhnya jadi, masih ada kesempatan gugatan ke MK, dan malam diketok pagi sudah demo. Mana ada kesempatan melihat dengan sangat jernih, wong tahu saja kelihatannya belum.
KPAI: Anak Demo karena Kelamaan Tidak Sekolah
Wajar sih sebagai sebuah pernyataan, menjadi masalah adalah kemudian dan itu perlu dicermati,
Apakah hanya anak sekolah di Jakarta, Surabaya, atau tempat riuh rendah saja yang jenuh dengan keadaan ini? mengapa jauh lebih banyak anak yang tidak ikut demo dari pada yang turut serta di sana? Jawaban yang ngaco.
Miris, ketika reaksi yang diberikan itu malah seolah memberikan angin segar pada  "para cukong" demo untuk melibatkan anak-anak, dengan rasionalisasi jenuh. Mengapa malah tidak mengecam anak yang dilibatkan, bukan malah seolah memahami demo demi mengatasi jenuh. Aneh dan lucu sebenarnya.
Berlanjut pada keanehan berikut. Polisi mengancam akan ada catatan dan kemungkinan besar ke depan si anak susah mendapatkan SKCK, sebagai salah satu syarat dalam melamar pekerjaan. Memang satu sisi saya juga tidak setuju, sekali dua kali kenakalan remaja, identik dengan tawuran juga, tentu sangat mengerikan jika hingga masa depan dan hidupnya.
Sangat mungkin ini hanya sebuah peringatan dan gertakan yang perlu diungkapan polisi untuk membuat orang tua jadi perhatian. Anak juga takut, soal aplikasinya toh tidak akan sekejam itu. Lha politikus maling saja bisa mendapatkan SKCK kog, juga bebas pidana dari pengadilan negeri. Gertakan saja.
Masalahnya adalah sikap KPAI, laagi-lagi aneh, bukan mengecam yang melibatkan anak-anak, namun malah mengomentari tindakan dan ancaman polisi. Berlebihan dan malah tidak pada tempatnya. Ini kan reaksi, mengapa menjawab reaksi, bukan masalah aksinya yang dipersoalkan.
Dua kisah dan fakta yang ada, menunjukan bagaimana kita di dalam melihat sesuatu, realiatas, hal yang faktual itu masih cenderung serampangan. Jangan harap mengatakan sampai kepada akar masalah, lha persoalannya saja tidak tahu dan pahami dengan baik dan jernih.
Kecepatan respons kadang menjadi utama, masalah benar salah belakangan. Ini juga menjadi masalah dan persoalan. Ribet dan makin ruwet karena lebih dulu komentar, omong, dan baru berpikir, malah kadang baru mencari-cari referensi dan mau mencri tahu masalahnya.
Kebat klewat ujaran Jawa yang bisa mewakili hal-hal tersebut di atas. Wajar sih negara usai represi menjadi demokrasi. Sayangnya, banyak yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi dan sesaat, dan itu berujung pada sesat.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H