Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Bebek A la Jokowi untuk Siapa?

9 Oktober 2020   21:32 Diperbarui: 9 Oktober 2020   21:41 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai kekalahan pilkada DKI, AHY yang mulai menjadi sipil, mulai merapat ke istana. Kembali bahasa simbol yang begitu kuat, bubur dan Gibran yang menemui. Bubur itu makanan anak-anak atau orang sakit. Makan siang kog bubur. Mengapa Gibran yang menemui? Jelas ini adalah mau memberitahukan, kapasitas dan levelnya itu ya memang Gibran, bukan Jokowi. Belajar dulu makan bubur, baru nasi tim, dan mulai bisa makan apa saja.

Kini bebek. Mengapa menyasar Demokrat? PKS sudah ada Fahri dan itu cukup. Telak dan tidak bisa napa-napa lagi. Tidak akan ada dampaknya. Nah Demokrat ini selain sosok SBY, juga banyak omong. Memang mereka partai kecil, namun sempat besar. Ini yang perlu disikapi.

Jokowi selaku presiden memang tidak akan leluasa sebagaimana mantan presiden atau bakal calon tetap presiden. Penggunaan simbol dan bahasa tanda ini sangat penting. Tidak semua orang akan paham namun tentu si SBY tahu bagaimanapun ia juga orang Jawa dan sudah jauh lebih senior.

Berkaitan dengan dengan pernyataan Ulil yang kog ndilalah juga orang Demokrat, Jokowi nglungani, Jokowi meninggalkan Jakarta dan ke luar pulau. Hal yang sangat tidak relevan jika perlu mengajari Jokowi apalagi  soal tata krama dan unggah-ungguh. Gatot Nurmantyo juga membahas yang sama. Mereka tentu tahu bagaimana 411 tahun lampau, jauh lebih menakutkan, Jokowi berani menghadapi, apalagi kini, sudah tanpa beban pula.

Bebek itu suaranya gede tetapi tidak membuat jerih siapapun. Anak-anak pun girang. Bandingkan jika gonggongan anjing kecil pun bisa membuat anak menjerit, apalagi dobermen, atau herder. Belum lagi jika auman macan.  Sekelas bebek, berisik yang tidak berdampak banyak.

Bahasa simbol yang bagus. Jokowi dan jajaran banyak salah dan kekurangan, tentu bukan membela bak babi buta, namun presiden yang melakukan tugas dengan relatif normal, membawa banyak perubahan, mengapa tidak didukung itu saja. Hitung juga berapa banyak halangan, hambatan, dan kekacauan yang tercipta selama pemerintahan ini?

Semua juga ujungnya Jokowi turun, atau ganti Jokowi. Lha demokrasi katanya, kog cuma mencari keuntungan sendiri.  Berapa uang terbuang sia-sia hanya demi menyenangkan sedikit elit galau coba?

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun