Bersama Anies, bisa saja. Toh ada kebersamaan di antara Anies dan SBY. Masih relatif mungkin. Tetapi partai apa yang akan mau mendukung mereka berdua? Ini bisa menjadi artikel lain.
Gerindra, sama dengan Demokrat, di mana ada satu slot untuk Prabowo. Kesulitan dengan Gatot sesama militer. Anies yang digandeng, toh di Jakarta pun seolah tidak dipercaya. Berduaa sebagai paket, susah partai ini bisa memfasilitasi.
Golkar, PDI-P, sangat kecil kemungkinan mau mengusung sosok luar partai dengan rekam jejak yang tidak cukup membahagiakan bagi pemilih. Susah mengubah image mereka yang kadung kacau. Perilaku politik mereka ngaco selama ini. Cenderung mereduksi diri dan citra diri sendiri mereka berdua.
Nasdem. Ternyata ada pendatang baru, Erick Thohir. Ada lagi sosok potensial. Surya Paloh sudah mengadakan pendekatan kepada Anies. Tetapi sebagai paket, susah karena harus berkoalisi dan partai lain belum tentu mau seperti itu.
Kursi mereka tidak cukup signifikan untuk mendikte partai lain untuk bergabung. Susah melihat mereka berdua maju lewat partai ini sebagai pengusung utama.
PKS. Ini yang sangat mungkin. Kebersamaan merek berdua, Gatot-Anies, PKS cukup sering ketemu dan irisan pola ideologis yang sama jauh lebih menjanjikan. Sangat mungkin, namun kendali lagi adalah, bagaimana mereka bisa meyakinkan partai lain untuk mau mengusung dua produk gagal ini.
Pilpres kemarin pun mereka hanya bisa berteriak-teriak tanpa mendapatkan apa-apa. solid sih pemilih, tetapi elitnya tidak cukup mampu melobi dan menjual  jagoannya untuk sekedar menjadi ketua tim sukses sekalipun.
Kegagalan mendapatkan DKI-2 juga sebuah gambaran jelas mereka hanya ramai di media sosial. Dalam faktualnya mereka nol besar. Â Jika untuk kampanye mereka sih mungkin, sebagaimana kampanye pileg 2019 kemarin.
Ketenaran yang dibangun dari kecemaran, pesimis bisa bertahan lama. Jangan jadikan pilkada DKI sebagai sebuah ukuran keberhasilan. Ada faktor lain yang lebih menentukan waktu itu.
Ingat pula pilpres, penggunaan trik kuno bagi pasangan Prawobo-Sandi juga gagal, termasuk di Jakarta. Hanya akan efektif di dua atau tiga porvinsi menjual agamis  ada dua kandidat itu.
Ke depan, masyarakat juga makin cerdas. Pemilih itu berkembang, malah justru elit yang jalan di tempat, kadang mundur dan kalah maju dari masyarakat. Ini persoalan demokrasi negeri ini.