Hari-hari ini, hiruk pikuk pro dan kontra mengenai pengesahan  UU  Cipta Karya. Dukung dan anti saling mengatakan dukungan untuk kubu mereka. Mau logis, ngasal, atau sok sokan tahu dikit, yang peting mendukung. Beberapa pihak yang mau netral dan obyektif mengajak untuk membaca dulu, apa isi dari UU itu dengan cermat.
Terus terang, satu pasal,  lha satu kata saja tidak tahu  wong berseliweran pembagian link dan data mengenai UU ini sama sekali tidak tertarik. Bahasa hukum itu ribet dan memang tidak berkaitan secara langsung dengan saya. Tidak ada urgensinya saya harus membaca ratusan halaman hukum itu. Lebih baik untuk membaca buku atau menulis tentunya.
Saling serang dan bertahan. Tudingan pesanan, buzzer, atau menuduh sebagai hoax dan ada yang sebaliknya. Begitu terus, tidak akan ada usainya. Satu menghakimi sebagai kadrun kalau menolak, pihak lain yang pro dianggap membela pengusaha.
Aneh dan lucu, ketika pro UU Cipta Karya berarti mendukung pengusaha dan memusuhi buruh. Sebaliknya bagi yang kontra akan mendapatkan label sebagai pembela buruh dan tidak ramah investor. Lahirlah klaim sebagai  aktivis dan tudingan buzzer.
Lepas dari pro dan kontra, dan artikel ini tidak mau dan tidak hendak mengulik soal mana lebih tepat atau tidak, tidak juga mendukung atau menolak dengan tegas, hanya mencari dan menyajikan bagaimana rekam jejak dari para pelaku yang terlibat di sana.
Lelucon  atau guyonan warganet itu, sepanjang PKS menolak, bisa disimpulkan aksi, pilihan, dan keputusan pemerintah pada jalur yang benar.Â
Nah beneran, di kala ribut dan riuh rendah pro dan kontra UU Ciptaka ini, PKS menolak dan eh ini kebetulan atau memang SOP, mereka ternyata juga membuat narasi yang sangat singkat di mana jauh dari apa yang aslinya. Cek sendiri pokoknya soal ini. Malas mengulang dari  mana-mana ada demikian.
Politik gaya baru Demokrat, dulu main dua kaki dan pencitraan kini nambah dengan walk out, atau keluar ruangan dan tidak ikut bertanggung jawab mengenai hasil dari UU yang disahkan. Yah namanya juga usaha.
Lucunya Benny Kabur yang mengatakan tidak pernah ada pembicaraan sebelumnya. Lha masak doktor hukum mengatakan hal demikian. Lha selama ini ke mana saja. Â Lucu dan aneh, ketika sudah diketok, baru berteriak, buat apa. Atau bawa saja ke MK atau PTUN. Jauh lebih ilmiah dan koridor hukum, bukan polemik politis.
Aneh dan lucu dari kedua partai ini, bagaimana mereka berdua ini cenderung memilih penyelesaian pandemi dengan lock down, bahkan cucu SBY saja ikut-ikutan membuat surat terbuka buat Jokowi. Â Bagaimana bisa lock down, namun juga demo dan membuat narasi untuk orang bisa berbuat demonstrasi.
Parpol menjadi biang kerok ini semua. Mau yang setuju atau menolak, sama-sama ngaconya. Jika mereka ini bekerja sebagaimana tuntutan konstitusi, kata Ahok, ikuti konstitusi, bukan seperti Ahmad yani yang hanya bisa mengatakan kontitusi, semua akan relatif lebih baik. Mengapa?
Benarkah PKS dan Demokrat itu membela rakyat, sebagaimana kata akun di medsos, tandai dan ingat yang setuju UU ini jangan dipilih? Naif, jika membaca politik dan polemik seperti ini dengan kaca mata hitam putih.
Anggota dewan dan kementrian itu penuh dengan pengusaha. Jadi susah melihat ini secara obyektif dan benar-benar ideal. Toh sejak lama produk UU kita sangat memilukan, toh mengapa baru kali ini ribut tidak karuan?
Serikat pekerja, apapun namanya, cenderung mendua, menginjak ke bawah dan menjilat ke atas. Pembelaan pada buruh sangat minim dan cenderung menjadi "pembela" pengusaha malah. Hak istimewa dan khusus yang mereka miliki cenderung menjadikan alat tawar dan lebih ke arah politis. Ini cek dan lihat saja sendiri seperti apa rupa dan polah mereka.
Masalah ini sebenarnya adalah tugas parpol untuk mengendalikan potensi masalah, bukan malah menambah persoalan yang tidak perlu seperti ini. Mana suara PDI-Perjuangan, Golkar, atau Gerindra. Mereka semua diam saja. Jokowi menjadi bulan-bulanan dan mereka diam, demi popularitas partai mereka.
RUU Cilaka sejak sangat lama sudah terdengar. Tanpa upaya mendegradasi apalagi menegasi ungkapan yang sangat tendensius dan buruk ini. Parpol biasa seolah bukan tugas mereka. Diam sejuta bahasa pokoknya tenar dan dipilih.
Kini ramai-ramai melawan yang kontra dan ternyata partai dan orang partai minim. Lebih banyak pegiat media sosial. Parpol harusnya menjadi jubir sekaligus benteng bagi pemerintah. Tidak hanya mau kursinya dan enggan kesulitan. Makelar ada di mana-mana.
UU Cipta Kerja pada rel yang tepat, selain karena guyonan PKS menolak, namun juga karena rekam jejak pemerintah selama ini lebih baik dari pada yang sudah-sudah. Kekurangan dan masalah pasti masih ada. Â Penolakan dengan keseluruhan dengan tudingan macam-macam, atau dukungan bak babi buta tentu itu kesalahan yang sama.
Kegaduhan yang jelas kontraproduksi, di mana maling berkeliaran dan malah asyik dengan hal yang tidak semestinya urgen. Miris, kita hanya diobpk-obok terus dengan dua kutub yang identik itu, saling curiga yang dibangun elit demi  akar rumput asyik berebut remah-remah dan mereka angkut yang gede.
Lihat saja rekam jejak siapa-siapa yang mengatakan ini dan itu, ke mana link dan keterarahannya selama ini dan ke depan. Tidak berbeda kog dari kejadian satu dengan yang lainnya. Masih identik. Itu lagi Itu lagi juga.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H