Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

UU Cipta Kerja, KAMI, dan ke Mana Prabowo?

5 Oktober 2020   22:41 Diperbarui: 5 Oktober 2020   22:49 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PKI, KAMI, Gatot, dan Ke Mana Prabowo?

Menhan cukup diam mengenai keberadaan PKI dan KAMI, padahal ini menyangkut pertahanan. Mengapa?  Begini, negara menjadi ramai, riuh rendah yang tidak ada faedahnya, nah kalau demikian terus, apalagi bak bola salju, kan pertahanan negara bisa menjadi kacau. Pertahanan lemah dan bisa menjadi bumerang.

Memang dengan diamnya pemerintah, jajaran kementrian tidak ada yang bereaksi melebihi kewajaran baik mengenai PKI dan juga KAMI. PKI sih akan hilang sendiri usai bulan berganti. Benar saja begitu Oktober, PKI sunyi dan sudah mati, akan bangun lagi tahun depan.   Respons dan tanggapan baik, seperti menghadapi anak baru gede minta motor, padahal bapaknya masih punya pemikiran dan tanggungan lain. Pilihan  bijaksana.

Mengenai  KAMI dan ugal-ugalannya, malah militer, baik senior Gatot, bahkan yuniornya pun berani memberikan nasihat, masukan, dan pernyataan. Harusnya malu, jenderal penuh lagi, diceramahi bintang dua, muda usia pula. Lha jenderal sekelas pangdam bisa memberikan nasihat dan juga sebentuk solusi.

Ada dua hal dari Pangdam Jaya nyatakan, kepada para senior, Pepabri jangan memaksakan kehendak. Jika ada persoalan bicarakan kepada kami, nanti kami sampaikan kepada pimpinan. Lha dalah, mereka kan sudah sipil benar juga. Mosok orang tua-tua diberi nasihat anak kemarin sore.

Kedua, jangan sampai diperalat. Lha dalah, anak masih hijau menasihati senior, pensiunan panglima pula. Harusnya malu bukan? Tetapi memang benar.

PKI dan KAMI menjadi jargon dan jagoan oleh Gatot dan kawan-kawan, sesepuh TNI, usai 80-an, Sintong Panjaitan juga ikut berkomentar. Tunjukan saja 20 PKI dan silakan diselesaikan secara hukum. Komunis sudah kapok di Indonesia. Dunia pun sudah makin sedikit yang masih murni menggunakan ideologi komunis. Mana ada PKI lagi.

Usai jauh di atasnya saja masih jernih, logis, dan lempeng cara berpikirnya kog. Sederhana, kalau PKI ada, ya tangkap saja anggotanya, kan partai terlarang. Mengapa repot ada kebangkitan, kalau orang-orangnya tidak ada. Kata Sintong sudah kapok. Ya kapok, tidak ada lagi tempat dan memang tidak menjanjikan.

Agum Gumelar. Merasa malu, ketika anggota komando berkejaran dengan mahasiswa. Tentara, jenderal lagi, harusnya dicintai rakyat, bukan malah berlaku demikian. Berkaitan dengan  bertikai dengan petugas lapangan, ia sebagai ketua PEPABRI juga menyayangkan. Pensiunan jenderal harusnya tahu petugas lapangan itu menjalankan perintah.

Kembali, seniornya berpikir lebih jernih dan normal. Pensiunan bintang empat lagi, itu seharusnya menjawa martabat dan kedudukannya, bukan malah mempermalukan diri sendiri dan institusi masa lalunya. Pernyataan yang cukup keras.

Dukungan itu sangat minim, memang ada beberapa yang sejalan, namun tidak cukup menjanjikan, selain cenderung hanya membuat kisruh dan ribet.

Beberapa hal yang layak dicermati;

KAMI dan isu yang dipakai itu identik dengan isu dan narasi prapilpres, pascapilpres mau penetapan dan usai penetapan pemenang. Isu-isu basi, dengan kekuatan massa yang lagi-lagi itu lagi itu lagi. Ditengarai kekuatan masa lalu, koruptor, dan pebisnis rente dan kolutif. Mereka menggerakan massa dengan afiliasi tertentu. Jelas ke mana dan mengapa.

Makin masifnya aksi pemerintah untuk menarik uang hasil kejahatan yang ada di luar negeri, pembatasan gerak dari keturunan massa lalu, serta makin gencarnya perbaikan di mana-mana, membuat keadaan makin terjepit, bagi yang biasa berpesta pora.

Bulan berganti, aksi dan isu PKI tidak relevan lagi, kini mendompleng aksi buruh.  Jangan lupa, siapa di balik buruh ini. Mereka adalah pengusaha-pengusaha yang mulai merasa pemerintah tidak lagi ramah pada perilaku mereka. Aksi ugal-ugalan dalam mencari keuntungan semata. Kekuasaan uang mereka bisa melobi elit dan kini menggunakan buruh untuk mencoba kekacauan.

Aneh dan lucu, ketika mengaku mau menyelamatkan Indonesia, namun malah perilakunya bertolak belakang dengan  yang seharusnya. Namanya menyelamatkan ya, seharusnya membantu negara dalam apapun keadaannya. Sama juga naik kapal dan sedang ada ombak gede, bukannya persiapa sekoci, ikut menguras air yang masuk, namun ini malah mematahkan tiang, membuat lobang lebih gede dengan alasan yang dibuat-buat.

Omnibus Law Cipta Kerja seolah menjadi bahan matang untuk membuat keadaan kacau. Lha tidak kacau bagaimana, ketika keadaan krisis, dibarengi kekacauan yang mereka ciptakan dengan membuat ulah, mengubah redaksi peratura sehingga  uruh resah.

Pelakunya orang yang sama, penganut agama kelompok ekslusif yang selalu lebih politis dari pada aksi agama. Mereka ini merasa sudah di atas angin dan akan mendapatkan kemenangan tidak lama lagi, eh malah terpancung oleh pemerintahan kali ini. Apapun  aksinya Jokowi ganti, itu narasinya. Apapun kondisinya, khilafah solusi.

Terlalu banyaknya makelar dalam bernegara menjadikan semua adalah dagangan. Elit hanya mencari uang, untung, dan rente, sehingga semua adalah uang dan keuntungan. Jangan bicara soal pengabdian, serta pelayanan.

Ke mana Prabowo?

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun