Gerah lagi, riuh rendah lagi, dan ujung-ujungnya juga Jokowi salah. Pengangkatan pejabat di Kemenhan memang menjadi bahan polemik karena beban masa lalu di mana anggota tim Mawar yang dipidana dalam kasus 98 ternyata menjadi pejabat di Kemenhan. Beberapa hal yang layak dilihat dengan jernih dan menyeluruh.
Jokowi mengajak Prabowo bergabung dalam pemerintahan tentu pertimbangan politis dan keamanan cukup kuat. Bisa dibayangkan, di tengah pandemi ini, Gerindra dan gerbongnya di luar pemerintahan, seperti apa ribet dan ributnya. Lah di dalam pemerintahan saja masih banyak yang ngaco, syukur di dalam, jadi hanya KAMI dan para sponsornya saja yang ribut.
Kemen KKP yang dipegang murni profesional, tegas, galak, dan berani, beralih pada pribadi antah barantah dan kemudian menuai polemik demi polemik. Demi kepentingan lebih gede, ya sudah mau apa lagi. Mempersatukan memang sangat mahal harganya. Lha manten saja untuk menyatukan dua pribadi perlu banyak beaya dan tenaga kog, apalagi ini dua kubu politik yang demikian tegang dan kutubnya sama-sama ngotot.
Keyakinan di dalam politik, kini hampir semua lini kehidupan juga terjadi, tidak akan ada makan siang  yang gratis. Dukungan Prabowo pada Jokowi naga-naganya juga demikian. Kadang hanya jabatan atau kursi ini dan itu masih bisa dipahami, kalau orang dengan catatan buruk, mau benar atau tidak, toh sudah ada catatan itu dan tidak terhapuskan, kan menjadi ribet.
Beban kini ada pada Jokowi sepenuhnya, mana ada tudingan Prabowo yang jelek dan buruk. Tidak, semua tertimpa pada posisi Jokowi. Padahal jalan panjang menjadi brigadir jenderal, jelas bukan semata zaman Jokowi.
Kenaikan pangkat sampai brigadir jenderal dan konon mereka itu berkasus pada 98, berarti sekian presiden sudah terlibat di sana. Ini juga menyangkut banyak hal dan segi, sayang masyarakat, LSM, pegiat ini dan itu, apalagi SJW, hanya mau tahu kekinian, ada segi dan faktor memojokan pemerintah, senang.
Padahal, jalan panjang hampir seperempat abad, jangan-jangan pemecatannya dulu dibatalkan pada tingkat banding, toh tidak ada kabar mengenai hal tersebut. Sangat mungkin terjadi. Apa yang terjadi toh masih sumir, simpang siur, dan tidak jelas.
Konteks peradilan waktu itu pun cenderung politis, tekanan massa, eforia keterbukaan dan kebebasan, toh anasir-anasir Orba masih sangat kuat, kental terasa, dan menguasai segala lini. Susah melihat secara obyektif, benar, dan menyeluruh.
Sangat mungkin yang pahlawan malah pecundang, yang maling malah jadi pejabat. Semua serba mungkin dan sangat terbuka kemungkinan itu. nyatanya, pimpinan dari Tim Mawar yang diributkan juga bisa menjadi capres dua kali, tanpa penolakan dari siapa-siapa dan mana-mana. Malah dukungan menguat demikian luar biasa.
Jangan naif dan lupa, bagaimana eforia pendukung Prabowo kala pilpres dua kali, termasuk dulu yang mengaku pionir menjatuhkan Orba, bisa disebut sebagai contoh Amien Rais. Kalau mau jujur dan tidak asal ngawur, jika meributkan staf yang eks98, mengapa pas Prabowo nyapres lancar-lancar saja?